Scroll untuk baca artikel
Blog

Mencari Pemimpin Terbaik Untuk 2024

Redaksi
×

Mencari Pemimpin Terbaik Untuk 2024

Sebarkan artikel ini
Oleh: Tony Rosyid

Ada tiga preferensi pemilih. Pertama, preferensi rasional. Mereka memilih menggunakan otaknya. Melakukan telaah terhadap track record calon. Lihat dulu integritasnya, kapasitasnya, prestasinya, baru menentukan pilihan.

Kedua, preferensi sosiologis. Memilih calon berdasarkan identitas kelompok. Karena sesama etnis, sama organisasinya, berasal dari satu daerah, dan lain-lain. Gak peduli track record-nya, yang penting orang awak, ya dipilih.

Ketiga, preferensi psikologis. Modal senyum, suka pakai kaos oblong, foto bersama pemulung, bergaya ndeso, deketi tuna wisma, ini semua memengaruhi psikologi pemilih. Gak peduli si calon itu punya kasus korupsi, gak punya prestasi, yang penting senyumnya renyah. Pilih!

Masyarakat Indonesia paling mudah disentuh hatinya. Gampang iba dan hilang rasionalitasnya. Lihat orang didzalimi, iba. Padahal, kadang kala itu setingan. By design.

Pemilih karena faktor psikologis ini jumlahnya mayoritas. Sadar akan fakta politik ini, banyak politisi kemudian menebar pencitraan. Buat atraksi yang bisa menarik hati rakyat. Lakukan survei untuk mengetahui sikap dan performance apa saja yang disukai serta mampu menyentuh hati pemilih. Termasuk cara berpakaian, gembel mana yang perlu didatangi, dan lain-lain. Inilah atraksi politik yang selama ini dianggap mampu menghipnotis pemilih.

Selama faktor emosional mendominasi cara rakyat memilih, maka politik akan diwarnai oleh panggung triatikal. Para calon akan bermain watak dan melakukan akrobat politik untuk menipu pemilih. Akibatnya, dunia politik akan menjadi panggung sandiwara yang penuh kebohongan. Hasilnya, elite politik yang terpilih adalah tokoh bohong-bohongan. Prestasi nol, modalnya cuma pencitraan.

Dan faktanya, banyak pemimpin dan elite politik yang terpilih adalah para pemain sirkus yang sebenarnya tidak mengerti banyak hal tentang bagaimana mengelola negara. Tidak tahu problem negara, apalagi menyelesaikannya. Inilah potret negara yang didominasi oleh para politisi minus negarawan.

Kalau akhir-akhir ini anda sering kali muak dengan banyaknya politisi tak bermutu, itu karena demokrasi kita adalah demokrasi akrobatik. Meminjam istilahnya Tamsil Linrung, ini akibat rakyat telah dibuai oleh kemunafikan demokrasi. Dampaknya, banyak kebijakan dan produk hukum lahir dari akrobat politik.

Keadaan semacam ini tentu memprihatinkan. Saatnya insaf nasional. Penting untuk melakukan revolusi cara memilih. Caranya? Mengedukasi pemilih untuk menggunakan rasionalitasnya dalam menentukan setiap pilihan, baik di pilkada, pileg maupun pilpres.

Seorang calon pemimpin, atau pejabat apapun di tingkat elite, mulai DPR, kepala daerah hingga presiden, mesti dipilih berdasarkan track record. Ini prinsip dan harga mati, jika kita memang ingin punya pemimpin negarawan yang bekerja untuk rakyat, bukan untuk pribadi, kelompok, atau partainya.

Pertama yang perlu diperhatikan adalah integritas calon pemimpin. Punya kasus hukum tidak? Terutama terkait dengan masalah korupsi. Kalau namanya pernah disebut oleh terdakwa di persidangan, ini orang tidak layak dipilih jadi pemimpin. Apalagi kalau pernah terima uang korupsi, meski telah dikembalikan.

Kedua, perhatikan kapasitasnya. Ini bisa dilihat dari prestasinya. Pernah menjabat apa, dan apa yang telah diperbuat ketika menjabat. Apa saja penghargaan yang pernah diperoleh.

Jadi kepala daerah misalnya, tapi gak ada prestasi, minim penghargaan, ya gak layak dipilih. Jadi pimimpin ormas, atau partai, kalau gak kelihatan prestasinya, jangan dipilih. Masukin keranjang sampah! Lalu, lupakan.