BARISAN.CO – Ingatan anak-anak cenderung lebih baik dibandingkan orang dewasa. Inilah alasan orangtua diharapkan dapat memberi kenangan yang indah dalam tumbuh kembang anak. Hal demikian tak mampu dilakukan oleh orangtua yang tinggal di negara perang.
UNICEF menyebut anak-anak meruapakan korban pertama saat perang yang terjadi. Terdapat lebih dari 400 juta anak tinggal di negara-negara yang terdampak konflik kekerasan, beberapa di antara mereka terpaksa mengungsi, tak jarang hidup menjadi yatim piatu dan tanpa pendampingan untuk memperoleh keamanan.
Selain itu, UNICEF menyampaikan lebih dari setengah warga sipil yang terbunuh oleh ranjau darat dan sisa-sisa bahan peledak perang merupakan anak-anak.
Sejak 2010 serangan meningkat tiga kali lipat atau rata-rata terjadi 45 pelanggaran setiap hari yang dilakukan terhadap anak-anak. Anak-anak juga amat rentan mengalami pelecehan, eksploitasi, serta eksploitasi dan perdagangan manusia selama keadaan darurat dan konflik bersenjata.
Sementara itu, para pelaku jarang dimintai pertanggung jawaban atas pembunuhan, kekerasan seksual, penculikan, dan perekrutan bersenjata anak-anak. Begitupun terhadap penolakan akses kemanusiaan dan serangan terhadap gedung sekolah maupun rumah sakit.
Bulan Mei lalu, dikutip dari Reuters, agresi Israel terhadap Palestina selama 11 hari tersebut membuat sekitar 66 anak-anak tewas.
TIGA MINGGU setelah agresi itu berakhir, Suzy Eshkuntana hampir tidak berbicara sama sekali, kecuali menanyakan Ibu dan empat saudara kandungnya yang terbunuh akibat serangan udara Israel di tanah Palestina.
Kini, anak berusia enam tahun itu bersama ayahnya tinggal dengan pamannya. Menurut pamannya, Ramzy, Suzy hampir tidak makan, tidak tidur nyenyak, dan tidak memiliki hasrat untuk bermain. Suzy dikenal sebagai anak periang, namun konflik itu membuat kehidupannya terbalik 180 derajat termasuk kehilangan orang-orang yang ia cintai.
“Dia banyak bertanya tentang Ibunya dan kami mengatakan jika Ibunya berada di surga,” kata Ramzi, dikutip dari Reuters.
Ramzi mengatakan, Suzy selalu berteriak jika seseorang mendekatinya.
Menurut pejabat Kesehatan Gaza, serangan Israel di Gaza pada 16 Mei menewaskan 42 jiwa, 10 di antaranya adalah anak-anak. Meskipun serangan yang dilakukan telah membuat warga sipil menjadi korban, Israel berdalih serangan itu ditujukan ke terowongan bawah tanah yang digunakan oleh Hamas.
Akibat runtuhnya terowongan bawah tanah tersebut, rumah-rumah termasuk milik keluarga Suzy ikut hancur. Militer Israel juga mengatakan warga sipil yang menjadi korban merupakan faktor ketidaksengajaan karena mereka telah berupaya menghindari jatuhnya kerugian terhadap sipil.
Psikolog secara rutin memeriksa keadaan Suzy untuk mengobati trauma yang dialami. Pada sesi terapi seni, Suzy dan sepupunya melukis nama mereka di atas kertas. Di samping namanya, Suzy menggores dua gambar hati besar berwara merah.
DALAM SEBUAH JURNAL yang diterbitkan oleh Croatian Medical Journal, dampak perang setiap tahun membuat anak-anak meninggal, cidera, menjadi disabilitas, mengidap penyakit, menjadi korban pemerkosaan dan prostitusi demi bertahan hidup, mengalami penderitaan psikologis, kerugian sosial dan budaya, menjadi tentara anak, dan moral serta spiritualnya terganggu.
Suzy menjadi korban yang selamat, namun ia mengalami penderitaan psikologi atas situasi teror yang terjadi. Pengalaman traumatis yang ia alami kemungkinan akan tertanam dalam memorinya sangat lama dan membuatnya mengalami stres pascatrauma.
Kehilangan yang Suzy alami menyebabkan tingginya tingkat depresi dan kecemasan. Dampak penderitaan psikologis ini juga dapat diperparah oleh paparan kekerasan yang lebih lanjut jika konflik kembali terjadi di masa mendatang.