Scroll untuk baca artikel
Blog

Sami’un Bashir

Redaksi
×

Sami’un Bashir

Sebarkan artikel ini

Sami’un Bashir cerpen karya Lukni Maulana. Ternyata dibalik kekuatan sadar manusia dan kekuatan diluar batas realitas. Itulah keagungan mata dan telinga

INGATKAH engkau akan waktu malam sebagai pakaianmu. Ia menutupi dirimu supaya engkau sadar bahwa segala sesuatu ada maksudnya. Seperti malam ini aku berpikir, namun pena yang aku pegang hanya memandangiku. Ia tidak mau bergerak bahkan satu katapun tidak sempat mengotori kertas putih. Malam adalah simbol pakaian, supaya engkau sadar bahwa waktunya untuk istirahat.

Menulis saja tidak bisa, apa lagi menginginkan untuk menjadi orang hebat. Orang hebat itu harus berkarya. Orang hebat harus beda dengan kebanyakan orang. Aku baru yakin bahwa segala sesuatu ada waktunya, seperti malam ini mengingatkanku pada masa yang tak kusangka, sekarang aku memahaminya.

Masa yang tak ku sangka itu adalah perjalananku ketika di pondok pesantrn Bahrul Ulum Tambakberas Jombang Jawa Timur. Sangat mengasyikkan hidup dipesantren, walaupun jauh dengan orang tua. Asalkan mampu menyadari akan pentingnya belajar. Karena sekarang sudah marak model pembelajaran, tidak hanya ilmu agama tapi ilmu umum juga didapat termasuk program ketrampilan.

Untuk mendapatkan ilmu yang praktis, saya bersama teman-teman mendatangi salah satu kyai. Di kalangan pesantren tradisional, kyai menjadi sesosok yang agung. Saya hendak mencari ijazah atau biasa disebut dengan doa atau amalan yang memudahkan dalam segala hal. Teman saya yang bernama Fahmi, berharap dapat ijazah ilmu kanuragan. Jadi ketika berhadapan dengan musuh, musuh akan ketakutan. Lain lagi dengan Nawawi, ia berharap mendapatkan ijazah pengasihan yakni ilmu yang bisa menjadikannya lebih berwibawa dan mendapatkan simpati orang lain.

Saya tidak tau soal amalan, doa, ataupun ijazah. Ke pesantren yang aku ingat hanya pesan bapak.

“Di pesantren kamu harus baca ak-Quran dan shalat tahajud”, kata bapak

“Iya”, jawabku. Sambil mikir kebingungan, saya hanya dikasih dua pesan itu saja.

Sampailah saya didepan rumah kyai irfan, kami disambut dengan baik. Beberapa hidangan lezat sudah ada dimeja, biasanya hidup dipesantren makan-makanan yang lezat amatlah jarak. Bisa makan enak kalo kiriman datang.

“Ada keperluan apa datang kesini”, tanya Pak Yai. Teman-teman ngak ada berani yang angkat bicara, sudah menjadi kebiasaan kalau dengan Pak Yai rasa minder selalu datang. Apa lagi dengan berbagai maca kepentingan. Fahmi dan Nawawi meyuruh aku untuk angkat bicara. Seketika aku beranikan untuk bicara.

“Maksud kedatangan saya dengan teman-teman, pertama silatuhrahmi. Kedua, kita memiliki keinginan dan keinginan itu terasa berat untuk diucapkan”.

“Memang yang berat itu apa, besi”, Pak Yai sambil tersenyum

“Ya..ngak Pak Yai”.

“Ke sini mau minta ijazah kan”, tanya Pak Yai

Tanpa aku beri tahu Yai Irfan sudah tau maksud kedatangan kami. Saya berserta teman-teman semakin berdebar-debar jantungnya.

“Maaf Pak Yai, memang gitu maksud kedatangan kami”, jawabku dengan agak malu memandang wajah Pak Yai.

Pak Yai tersenyum melihat kami, dimana perasaan kami semakin tidak enak saja. Tanpa pikir panjang Pak Yai memberikan wejanganya. Dunia ini seperti permainan drama, dimana semua pemainnya adalah pemeran utamanya. Tapi seorang pemeran utama adalah mereka yang mampu dan bisa.

Mereka melakukan yang terbaik, kalian minta ijazah pasti berharap ijazah tentang kanuragan dan lain sebgainya. Sekarang ini sudah tidak zamanya, pemeran utama itu bukan mengandalkan otot tapi pikirannya. Maka didiklah pikiranmu, dan tentu berikan makanan yang bergizi supaya jasmanimu juga ikut mendukungnya.

Kami semakin bingung, berharap mendapatkan amalan malahan mendapatkan ceramah dan petuah.

Lalu Yai Irfan mengambil secarik kertas, dan menuliskan beberapa potong ayat. Diberikan tulisan itu kepada saya.