MANUSIA itu sedemikian uniknya. Saking sulitnya mendefinisikan apa itu manusia, orang Jawa cukup menyebut manusia dengan kalimat sederhana ‘janma tan kena kinira.’ Artinya adalah makhluk yang tak dapat diperkirakan sama sekali.
Saking sulitnya dianggit, orang Jawa lantas meminjam burung Perkutut sebagai perumpamaan bagi perwatakan manusia. Setiap burung Perkutut memiliki ciri fisik yang khusus. Ciri fifik tersebut bisa berupa warna bulu, motif bulu, sisik kaki, jumlah helai ekor, warna kelopak mata dan lain sebagainya.
Ciri khusus terbentuk dari pergulatan panjang dan yang tak pernah berhenti antara kondisi alam dan potensi diri bawaan Burung Perkutut itu sendiri. Ciri fisik hasil pergulatan yang tak pernah berhenti tersebut oleh manusia jawa disebut dengan katuranggan.
Bagi orang Jawa katuranggan adalah teks atau simbol yang dapat dibaca. Jika seseorang merasa sreg atau nyawiji dengan burung Perkutut berkaturanggan tertentu maka ddapat dipastikan bahwa orang tersebut memiliki perwatakan yang tak jauh berbeda dari katuranggan burung Perkutut kelangenannya tersebut.
“Bapak memanggil Saya,” tanya Budi ketika sudah diijinkan masuk oleh Pak Tigor.
Dadanya berdegup sangat kencang. Ketakutan menyelimuti perasaannya. Dipanggil secara pribadi oleh Pak Tigor alamat akan mendapat kemarahan. Dan biasanya akan berakhir dengan mutasi atau penundaan kenaikan pangkat.
“Duduklah! Sebentar Saya selesaikan dulu tugas dari Pak menteri ini,” jawab Pak Tigor dingin.
Budi lantas duduk di sofa tempat di mana biasanya Pak Tigor menerima tamu-tamunya. Duduknya tak tenang. Ia belum dapat melepaskan ketegangan batinnya walaupun hanya sedetik sekalipun. Pikirannyapun terbang liar ke mana-mana. Budi berusaha mengingat-ingat semua tugas-tugasnya selama ini. Menurut perasaannya tak sedikitpun ia melakukan kesalahan.
“Selamat! Pak Menteri menunjuk Pak Budi sebagai kepala kantor menggantikan Saya. Bulan ini Saya sudah memasuki masa pensiun,” ujar Pak Tigor membuyarkan lamunan Budi.
Lelaki tua itupun segera menjabat tangan Budi sedemikian eratnya.
“Mimpi apa Pak Budi semalam?” tanya Pak Tigor menyambung perkataannya barusan sambil menyodorkan sebuah amplop.
Sepertinya berisi surat tugas yang baru untuk Budi. . Sementara Budi masih larut dalam keterkejutannya. Lelaki itu benar-benar tidak menyangka bakal ditunjuk menjadi kepala kantor menggantikan Pak Tigor yang dikenal bertangan dingin tersebut.
“Saya pikir pilihan Pak Menteri sangat tepat,” puji Pak Tigor sambil menepuk-nepuk pundak Budi. Sedetik kemudian lelaki tua itu telah menyulut cerutunya.
Dihisapnya dalam-dalam gulungan daun tembakau tersebut hingga pipinya terlihat kempot. Lelaki dari seberang itu terlihat benar-benar menikmati hisapan demi hisapan cerutunya. Ia biarkan saja Budi yang masih terbuai oleh keterkejutannya.
“Sudah! Tak perlu seperti itu,” ucap Pak Tigor lagi sambil menarik pundak Budi yang memberi sungkem kepadanya.
“Ini semua memang buah dari kerja keras Pak Budi selama ini. Mulai besok kursi itu adalah tempat duduk Pak Budi yang baru. Dan tugas pertama Pak Budi adalah menyelesaikan pemindahan hak tanah warga desa guna pembangunan jalan tol yang melintas di wilayah kewenangan kita ini,” ujar Pak Tigor sambil menghisap kembali cerutunya dalam-dalam.
Wajah lelaki tua itu sepertinya sangat puas sekali. Ia seperti baru saja terbebas dari beban yang selama ini telah menghimpitnya. Sementara itu Budi justeru teringat pada burung Perkutut miliknya yang ada di rumah. Burung yang tak biasanya manggung itu tadi malam tiba-tiba saja semalaman manggung tanpa henti. Iapun teringat omongan Kang Karmin si pemikat burung itu.
“Katuranggan Perkutut ini sangga ratu. Orang yang memilikinya akan menjadi kesayangan pemimpinnya. Tapi burung ini jarang manggung. Ia hanya akan manggung jika ada isyarat khusus untuk pemiliknya,” begitulah perkataan Kang Karmin ketika Budi membeli seekor burung Perkutut darinya.
“Katuranggan ini sangat cocok dengan Pak Budi,”tambah Kang Karmin meyakinkan.
“Ah ternyanta ucapan Kang Karmin bukan isapan jempol belaka,” batin Budi sambil keluar dari ruangan Pak Tigor. Berbeda dengan kedatangannya tadi, kini perasaan Budi sedemikian melambung. Bagaimana tidak, esok hari ia akan resmi menjadi kepala kantor pertanahan. Jabatan yang tentu saja sangat prestisius.
“Ah ternyata Perkutut itu bisa membawa keberuntungan juga,” batin Budi sekali lagi setengah tak percaya.
* * *
Hari pertama menjadi kepala kantor pertanahan, Budi langsung menggelar rapat khusus. Beberapa kali ia menunjuk peta satelit yang terpampang di layar LCD. Beberapa staff yang ikut rapat terlihat manggut-manggut dengan mimik muka sangat serius mengikuti instruksi demi instruksinya.
“Garis merah ini adalah rencanalintasan jalan tol yang harus segera kita selesaikan pemindahan kepemilikan hak tanahnya,” Lakukan sesuai instruksi Saya. Kita hanya punya waktu sampai akhir tahun ini! Yang tidak sanggup silahkan angkat jari,” ucap Budi mengakhiri rapatnya. Tak satupun dari staffnya yang berani mengangkat jarinya.
“Karena tidak ada yang angkat jari, maka semua Saya anggap siap melaksanakan perintah ini. Yang berprestasi akan Saya beri penghargaan dan yang tidak melaksanakan tugasnya akan Saya beri sanksi,” ancam Budi sambil menyalami staffnya satu persatu.
Ketegangan tampak menghiasi wajah-wajah staffnya tersebut. Tapi mau berkata apa lagi. Tugas adalah tugas. Tak ada kata lain kecualilaksanakan.
“Bagaimana dengan protes warga desa Pak?” tanya Darman tiba-tiba menyela. Nada bicaranya terdengar sedikit bergetar. Ada perasaan takut menghantui hatinya. Sebagai kepala seksi ukur tanah, Darman tahu persis bagaimana rumitnya persoalan itu di lapangan.
“Pak Darman sudah berapa lama menjabat sebagai kepala seksi ukur tanah?” tanya Budi sambil mendekati tempat duduk Darman. Sementara itu Darman hanya membisu tak berani berkata sepatah katapun.
“Apakah ada yang bisa membantu kesulitan Pak Darman?” tanya balik Budi kepada para staffnya. Para staff itu hanya terlihat saling pandang tanpa sedikitpun berani menjawab pertanyaan Budi.
“Biasanya kita kumpulkan Kepala Desa untuk menghadapi protes warga. Dengan begitu kita tidak berhadapan secara langsung dengan warga desa!” sahut Kardi yang menjabat kepala seksi hukum.
“Tepat sekali! Ajak kepala desa untuk bermusyawarah sambil diberi ini,” ujar Budi sambil menyentuhkan ibu jari dan telunjuknya sembari digerak-gerakkan.
“Tenang saja. Proyek ini budgetnya ad libitum,” jawab Budi kembali yang langsung disambut dengan senyum para staffnya termasuk Darman yang sedari tadi masih terlihat tegang.
“Jangan lupa libatkan seragam coklat untuk menakut-nakuti warga desa. Urusan amplopnya biar diselesaikan oleh bendahara,” ucap Budi kembali sembari memberi isyarat kepada Bu Harti yang menjabat sebagai bendahara kantor.
“Siap!” jawab Harti sambil tersenyum. Perempuansetengah baya itu memang lihai dalam mengedarkan amplop dari meja ke meja. Mungkin karena paras wajahnya yang juga cantik.
Gerilya Budi dan seluruh staffnya memang sangat cepat dan rapi. Tak perlu menunggu akhir tahun. Pembebasan lahan sekaligus pemindahan hak kepemilikan dari warga kepada perusahaan jalan tol selesai sebelum deadlinenya.
* * *
Pagi masih berkabut ketika Budi mengeluarkan motor trail dari garasi rumahnya. Sudah sejak lama Ia berniat hendak pergi menemui Kang karmin si pemikat Perkutut itu. Budi ingin menambah koleksi Perkututnya. Ia ingin memiliki Perkutut Katuranggan raja wana. Konon kabarnya, siapa saja yang memiliki Perkutut dengan katuranggan raja wana tersebut, ia bakal menjadi penguasa yang disegani.
Budi sengaja ingin menemui Kang Karmin di rumahnya. Sebab kalau menemui Kang Karmin di pasar, ia takut dikenali oleh banyak orang. Maklumlah Budi kini adalah seorang pejabat. Mau tidak mau ia harus menjaga wibawa jabatannya. Berbeda ketika ia masih sebagai pegawai biasa. Ia bisa berjam-jam ngobrol ngalor ngidul dengan Kang Karmin di kios burung miliknya.
“Semoga hari ini adalah hari keberuntunganku. Semoga Kang Karmin memiliki Perkutut katuranggan raja wana yang aku cari tersebut,” bisik hati Budi kepada dirinya sendiri sembari menghela motor trailnya keluar masuk kampung.
Setelah bertanya kepada beberapa orang yang ia temui di jalan, akhirnya sampai juga Budi di rumah Kang karmin. Lelaki itu menyambutnya dengan sangat ramah. Namun ketika ia hendak memasuki rumah Kang Karmin betapa terkejutnya Budi. Di samping pintu rumah Kang Karmin telah terpasangpatok besar penanda proyek jalan tol. Seketika itu juga dadanya berdetak lebih keras.
“Apa rumah Kang Karmin terterjang proyek jalan Tol?” tanya Budi pura-pura bodoh.
“Betul Pak! Mungkin ini sudah nasib Saya. Saya tidak tahu harus pindah ke mana? Apalagi uang ganti ruginya sangat kecil,” jawab Kang Karmin sambil menghidangkan segelas teh dan aneka panganan. Kang Karmin yang biasanya penuh kelakar itu kali ini terlihat murung.
“Terimakasih lho Kang! Perkututnya terbukti bertuah,” ucap Budi sambil tertunduk. Nada perkataannya sedemikian gamang. Dalam hati ia sangat bersedih.
“Berkat burung Perkutut pikatan Kang Karmin itulah Aku menjadi kepala kantor. Dan karena jabatan itu pulalah Aku melegalkan penggusuran rumah kang Karmin ini. Inikahh balasanku kepada Kang Karmin?” bisik hati Budi kepada dirinya sendiri.
“Rencana kang karmin pindah ke mana?” tanya Budi basa-basi demi mengusir rasa bersalahnya.
“Tidak tahu Pak! Tapi saya yakin Allah pasti akan memberi jalan keluar atas kesulitan saya ini.”
“Meski digusur,tapi Saya masih beruntung! Oleh Allah Saya masih diberi kesehatan. Saya tak dapat membayangkan jika saya juga diganjar sakit,” sambung Kang Karmin sekali lagi dengan nada tenang. Tak tampak lagi raut kesedihan menghiasi muka lelaki yang menggantungkan hidupnya dari memikat burung Perkutut tersebut.
Tak terasa ucapan Kang Karmin itu bagai silet yang merobek hati Budi. Kang Karmin tidak tahu bahwa lelaki bernama Budi itulah yang telah menggusur dan memiskinkannya sekaligus. Padahal berkat tanganyalah Budi dapat mendapatkan Perkutut berkaturanggan sangga ratu yang sedemikian bertuah itu. Dan entah penderitaan apa lagi yang akan ditimpakan Budi kepada orang lain ketika siang itu ia telah berhasil membawa pulang Perkutut berkaturanggan raja wana dari Kang Karmin.