Pun, pernah suatu saat, tahun 1970-an saat negeri ini masih kekurangan guru SD, ia ditawari untuk menjadi guru negeri, ia menolak.
Saya kira, sikap-sikap di atas adalah residu dari sikap-sikap anti-kolonialisme santri. Beratus tahun pesantren (dengan para santrinya) hidup dalam resistensi melawan kolinalisme. Sikap-sikap anti modernisme, menjauhi materialisme, dan bahkan anti-pemerintah adalah sikap-sikap perlawanan waktu itu.
Tak mau sekolah umum, tak mau kuliah, dan tak mau bekerja di pemerintah adalah sikap-sikap anti pemerintah Hindia-Belanda. Namun, pasca-kemerdekaan, sikap-sikap itu telanjur menjadi cara hidup kaum santri dan pesantren. Sebenarnya saya beruntung menjadi santri (tradisional) sehingga setidaknya bisa merasakan nuansa ratusan tahun perlawan (non-senjata) kaum santri terhadap kolonialisme.
Tapi kini zaman berubah. Pasca diresmikannya Hari Santri oleh Presiden Jokowi, kata santri memiliki makna yang outstanding, penuh tepuk-tangan.
Santri tak lagi dipandang sebagai kategori yang anti kemapanan dan anti-kemoderenan. Santri bahkan menjadi kebanggan dan simbol eklektisme pendidikan ala nusantara yang mampu melakukan domestikasi terhadap apapun yang dianggap berasal dari luar, dan lalu dikawinkan (baca: dikayakan) dengan kekayaan nilai budaya nusantara. [dmr]