Scroll untuk baca artikel
Risalah

Santri dan Semangat Anti-Kolonialisme

Redaksi
×

Santri dan Semangat Anti-Kolonialisme

Sebarkan artikel ini

JANGAN DILIHAT santri dalam konteks sekarang. Mari kita lihat santri pada pra-era kini. Waktu itu, santri adalah sebuah kata yang kurang dikenal publik modern Indonesia. Jikapun dikenal, kata itu asosiatif dengan nada peyoratifnya sebagai kaum sarungan, sederhana (sebagai penghalusan dari ‘lugu’), apa adanya, ndeso, kurang fasih berbahasa Indonesia, dan tidak akrab (untuk tidak mengatakan anti) pemerintah.

Oleh Clifford Geertz, kata santri bahkan dikontraskan dengan kaum abangan yang sudah terlebih dahulu beradaptasi dengan ke-moderen-an.

Saya ajak Anda mereflkesikan paragraf di atas dengan pengalaman pribadi saya. Saya barangkali, satu di antara sekian ribu dan juta generasi muda Indonesia yang terlahir dan tumbuh dari lingkungan santri. Terlahir dari seroang ayah perintis dan mengelola sebuah pesantren tradisonal, sudah sejak lahir saya terbaptis sebagai seorang ‘santri’.

Sejak kecil selalu skeptis denga apa-apa yang berbau modernisme, kebarat-baratan, dan apalagi pemerintah. Sekolah umum (non-madrasah/pesantren) adalah jalan masuk menuju kehidupan sekuler yang jauh dari nilai-nilai agama.

Pesantren mustinya sudah cukup dengan kitab-kitab kuning tanpa perlu dicampuri dengan kurikulum infiltrasi dari ‘Barat’. Pesantren yang membuka kelas-kelas pendidikan umum bagi kami adalah latah, mereka akan terkooptasi oleh sistem modernisme menjauhkan dari nilai-nilai agama.

Saya masih ingat, suatu saat saya diterima di sebuah SMA favorit di kota, saya sama sekali tak merasa bangga. Karena saya tak menganggap pendidikan sekolah lebih penting dari pada pendidikan pesantren.

Pun saat diterima di sebuah perguruan tinggi negeri paling bergengsi di Yogyakarta, hampir tak ada teman santri atau keluarga yang memberikan selamat. Sebab meraka tak paham apa itu universitas? Bahkan mereka khawatir saya akan kehilangan ke-santriannya, hidup secara modern yang sekuler, dan menjadi kolaborator pemerintah.

Dogma anti modernisme dan pemerintah itu tertanam kuat, sehingga saya tak pernah bercita-cita menjadi pegawai negeri. Alasannya, sebagaimana yang diajarkan oleh para senior-santri saya: berprofesi pegawai negeri berarti makan gaji, yang uangnya diambil dari pajak barang halal dengan barang haram, digabung. Rezekinya tidak bersih, subhat!

Setidaknya itulah pemahaman saya saat menjadi santri kecil waktu itu. Ayah saya bahkan membuktikan jalan hidupnya yang anti mainstream itu dalam kehidupan sehari-hari. Ia mendirikan pesantren dengan sama sekali tak mau mendapatkan bantuan dari pemerintah, sepenuhnya dari hasil usaha mandiri di bidang pertanian dengan tenaga kerja murah dari pengabdian para santrinya.

Pun, pernah suatu saat, tahun 1970-an saat negeri ini masih kekurangan guru SD, ia ditawari untuk menjadi guru negeri, ia menolak.

Saya kira, sikap-sikap di atas adalah residu dari sikap-sikap anti-kolonialisme santri. Beratus tahun pesantren (dengan para santrinya) hidup dalam resistensi melawan kolinalisme. Sikap-sikap anti modernisme, menjauhi materialisme, dan bahkan anti-pemerintah adalah sikap-sikap perlawanan waktu itu. 

Tak mau sekolah umum, tak mau kuliah, dan tak mau bekerja di pemerintah adalah sikap-sikap anti pemerintah Hindia-Belanda. Namun, pasca-kemerdekaan, sikap-sikap itu telanjur menjadi cara hidup kaum santri dan pesantren. Sebenarnya saya beruntung menjadi santri (tradisional) sehingga setidaknya bisa merasakan nuansa ratusan tahun perlawan (non-senjata) kaum santri terhadap kolonialisme.

Tapi kini zaman berubah. Pasca diresmikannya Hari Santri oleh Presiden Jokowi, kata santri memiliki makna yang outstanding, penuh tepuk-tangan.