Cerpen

Saputangan Merah – Cerpen Eko Tunas

Eko Tunas
×

Saputangan Merah – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini
Lukisan eko tunas
Ilustrasi/Lukisan karya Eko Tunas

DIA muncul di undak-undakan sana, menyongsong Saya dari trap-trap sini. Wajahnya seperti mula kami bertemu. Wajah yang selalu tersenyum, sebab bibir itu dari sononya sudah membentuk senyuman.

Bias cahaya dari sinar lampu di belakangnya menyebarkan bayangan badannya ke lengkung dinding. Dinding dan lengkung atap beton yang sekarang melingkupi deka peluk Saya dan Dia.

Cium pika-piki, lalu – apalagi? Saya berusaha tertawa, Dia tampak mencoba tertawa pula. “Jadi, ini benar pertemuan kita?” desah Saya. Dia mencetus, “ya, seperti katamu, pertemuan adalah keindahan…”

Terdengar jerit simpanse, lenguh gajah, juga aum harimau. Saya berusaha mengingat-ingat, di mana awal Saya dan Dia bertemu. Saya hanya mengingat bibirnya yang membentuk senyuman.

Jadi tolonglah, siapa bisa tunjukkan, teks yang bicara tentang bibir membentuk senyuman. Barangkali, saking langkanya bibir macam itu, Dia tergolong makhluk yang terlahir dari satu teks pertunjukan teater.

Saya sebenarnya telah mencoba mereka-reka teks untuk monolog saya, tentang bibir, tapi jadinya yang menceplos malah bibir dower, manyun lagi! – maklum monolog saya bersifat komedi, campur sedikit tragedi.

Beberapa kali Saya berusaha mau mengontak Halim HD, net worker yang tinggal di Solo. Sebabnya setiap saya mengingat-ingat awal pertemuan Saya dan Dia, yang terbayang suasana di Taman Budaya Surakarta (TBS).

Selalu Saya menggagalkan diri menelepon Halim, sebab Saya malu, nanti dikira Saya ada macam-macam dengan gadis Surakarta Hadiningrat – padahal Saya kan orang asli Tegal yang terkenal ngapak-ngapak dan wartegnya.

Beberapa kali Saya juga mau mengontak Afrizal Malna atau Boedi S Otong. Sebab bayangan suasana TBS dengan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta tumpang-tindih. Selalu pula Saya pending, sebab mereka lagi di Jerman – bisa boros pulsa kan, lagian mana ada jaringan?

Ya, setiap Saya melihat wajah dengan bibir menyenyum itu, Saya jadi ingat pertunjukan Teater Sae beberapa tahun lalu. “Biografi Yanti 12 Menit” – itu judul pertunjukan yang disutradarai Boedi S Otong, dengan teks Afrizal Malna.

Dua kali – memang – Saya menyaksikan “Yanti…”, di TIM dan di TBS.
Apakah Dia Yanti, dan Saya Yanto? – batin Saya, hapal satu dialog dalam “Yanti…” Ah, sudahlah, biarin waktu berjalan serutin jarum jam.
Dia lantas duduk di trap.

Saya mau menjejeri, tapi agak sungkan juga. Jadi Saya menirukan dia tadi, menyandarkan punggung ke dinding sini, dia duduk mepet ke dinding sana berjarak kira-kira tiga meteran. Lengkung atas tidak kurang dari tiga meteran dari lantai dasar. Panjang lorong Saya taksir ada dua puluhan meter.

Saat Saya berjalan ke bagian belakang taman ini, dan menapaki trap-trap leter ‘u’, Saya mengira-ira gigir arena selebar dua puluh meteran. Sungguh teater arena yang layak untuk pementasan kolosal.

Layak, Teater RSPD Tegal yang mau pentas malam ini, akan memainkan teater dalam bentuk kolosal, berdasar babad Tegal “Martoloyo-Martopuro”. Sebagai sesama orang Tegal, Saya bermaksud ingin mengawani. Sekaligus menemani si bibir tersenyum, tentu, yang baru sekarang memang kami berkopi-darat.

“Jadi, ini lorong bawah tanah,” gumam saya, “luarbiasa…”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *