Scroll untuk baca artikel
Kolom

Satu Hal Saja Buat Menteri Pendidikan

Redaksi
×

Satu Hal Saja Buat Menteri Pendidikan

Sebarkan artikel ini
buat menteri pendidikan
Ilustrasi/Barisan.co

Peningkatan literasi yang berfokus pada pemahaman bacaan harus menjadi prioritas utama Menteri Pendidikan, karena tanpa itu, sistem pendidikan kita hanya menciptakan generasi yang stagnan di tengah tuntutan global yang terus berkembang.

Oleh: Adib Achmadi
(Praktisi Pendidikan)

SATU hal saja saran kepada Menteri Pendidikan baru: ajari siswa paham apa yang dibaca. Itu saja. Lainnya sekunder. Kata kuncinya: paham.

Meski terdengar sederhana, langkah ini tak mudah. Pemerintah, lewat Kementerian Pendidikan, telah melakukan berbagai upaya, mulai merombak kurikulum hingga meningkatkan mutu guru, disertai anggaran besar. Namun, mesin negara itu tetap gagal mengantarkan siswa memahami apa yang dibaca.

Apakah Kementerian Pendidikan belum mengajari siswa memahami bacaan? Tentu sudah. Tetapi, pendidikan kita seolah stagnan. Upaya seperti perubahan kurikulum belum memberikan dampak signifikan.

Indonesia menggunakan asesmen PISA (Programme for International Student Assessment) yang diinisiasi OECD sejak tahun 2000. Hingga asesmen terakhir tahun 2022, posisi Indonesia tetap di papan bawah.

Selama 22 tahun, mutu pendidikan kita bertahan di level satu dari enam level. Pada level ini, mayoritas siswa hanya bisa membaca dan berhitung tanpa memahami isinya.

Menurut Ignas Kleden, kemampuan membaca tanpa pemahaman membuat siswa tergolong buta huruf aksara: bisa membaca tetapi tidak memahami.

Bank Dunia menyebutkan bahwa siswa kita mengalami “learning poverty” pada usia 10 tahun, yaitu kesulitan memahami teks sederhana.

Baik menurut PISA, Ignas Kleden, maupun Bank Dunia, situasi ini tidak hanya memprihatinkan tetapi juga mengkhawatirkan.

Tingkat kemampuan di level satu dapat diartikan sebagai kebodohan kolektif, ironisnya terjadi di lingkungan pendidikan.

Jika dua dekade dianggap satu generasi, maka pendidikan kita telah menciptakan generasi lemah dengan mutu rendah. Sulit dibayangkan generasi ini akan memimpin di era inovasi dan perubahan cepat.

Kembali ke awal, hanya satu hal yang perlu menjadi prioritas: ajari siswa paham apa yang dibaca (literasi) dan paham apa yang dihitung (numerasi).

Lakukan evaluasi menyeluruh untuk menemukan kekurangan, lalu buat langkah baru yang lebih terukur sesuai standar mutu.

Jika mutu mengacu pada PISA, standar tersebut harus menjadi bagian dari sistem pendidikan. Keberhasilan yang diukur PISA perlu menjadi standar keberhasilan nasional, agar hasilnya dapat diprediksi sebelum asesmen dilakukan.

Lantas, apakah pendidikan kita belum mengacu pada PISA? Sejak Indonesia mengikuti asesmen PISA, kebijakan pendidikan memang telah diarahkan ke sana.

Semua perubahan kurikulum setelah tahun 2000, termasuk AKM (Asesmen Kompetensi Minimum) dan pendekatan HOTS (Higher Order Thinking Skills), bertujuan menyesuaikan dengan standar PISA. Namun, siswa tetap belum memahami apa yang dibaca.

Beberapa pemikiran untuk perbaikan sistem pengajaran adalah, pertama, penyesuaian proses pengajaran. Ketika mutu pendidikan merujuk PISA, pengajaran harus diarahkan ke standar tersebut, yang menuntut pemahaman, bukan sekadar hafalan.

Kedua, menyesuaikan ukuran keberhasilan. Jika PISA dijadikan tolok ukur, maka proses pendidikan, termasuk lulusan LPTK, PPG, dan sertifikasi guru, harus mengacu pada PISA.

Keberhasilan harus dinilai dari praktik di lapangan, dengan siswa memahami materi sebagai indikator utama.

Ketiga, menyesuaikan sistem dengan ukuran keberhasilan. Jika PISA adalah tolok ukur, maka sistem pengajaran, metode, dan instrumen yang digunakan harus sesuai. Kurikulum juga perlu berorientasi pada keterampilan yang merujuk standar PISA.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menganggap PISA satu-satunya standar. Namun, alasan pertama adalah bahwa kebijakan pendidikan kita saat ini sudah menggunakan PISA sebagai patokan mutu.