Scroll untuk baca artikel
Analisis Awalil Rizky

Sebelum Telanjur Jual Aset untuk Pindah Ibu Kota Negara

Redaksi
×

Sebelum Telanjur Jual Aset untuk Pindah Ibu Kota Negara

Sebarkan artikel ini

WACANA penjualan dan penyewaan aset pemerintah pusat di Jakarta mengemuka sebagai sumber pembiayaan pembangunan Ibu Kota Negara baru di Kalimantan Timur. Disebutkan nilai aset dimaksud yang berupa bangunan dan tanah sekitar Rp1.000 triliun pada tahun 2020.

Nilai aset pemerintah pusat tiap tahun disajikan pada bagian Neraca dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Neraca menggambarkan posisi aset, kewajiban, dan ekuitas pada akhir tahun bersangkutan. Nilai total Aset dilaporkan mencapai Rp11.099 triliun per 31 Desember 2020.

Aset tersebut terdiri dari: Aset Lancar (Rp665 triliun), Investasi Jangka Panjang (Rp3.173 triliun), Aset tetap (Rp5.976 triliun), Piutang Jangka Panjang (Rp59,32 triliun), Aset Lainnya (Rp1.225,10 triliun). Tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan dipergunakan oleh berbagai Kementerian dan Lembaga.

Nilai aset Pemerintah Pusat tercatat mengalami kenaikan tiap tahun dengan laju fluktuatif. Laju kenaikan signifikan pada tahun-tahun tertentu, seperti: 2010, 2011, 2015 dan 2019. Pada tahun lainnya selama periode 2008-2020 hanya kisaran 4-9 persen. Tercatat naik 6 persen pada tahun 2020.

Kenaikan signifikan lebih disebabkan adanya penilaian kembali (revaluasi). Bukan karena pembelian, investasi atau pembangunan baru. Sebagaimana terjadi pada tahun 2015 dan 2019. Pada tahun 2015 terutama karena revaluasi investasi jangka panjang, seperti pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pada tahun 2019 terutama karena revaluasi aset tetap.

Nilai aset tetap melonjak menjadi tiga kali lipat pada tahun 2019 (Rp5.950 triliun) dibanding tahun 2018 (Rp1.931 triliun). Revaluasi sebenarnya dilakukan pada bulan Agustus 2017 sampai dengan Agustus 2018. Namun laporannya baru disepakati oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada LKPP tahun 2019.

Jenis aset tetap yang mengalami kenaikan nilai tertinggi berupa tanah. Nilainya mencapai Rp4.566 triliun pada 2019. Sekitar empat kali lipat dibanding tahun 2018 yang hanya Rp1.109 triliun.

Porsi nilai Tanah pun kemudian mencapai 76,74 persen dari total aset tetap, naik dari 52,75 persen. Jika dilihat dari keseluruhan aset, maka porsi tanah mencapai 43,62 persen. Porsi sebelumnya hanya 16,10 persen.

Perlu diketahui, aset Tanah dimaksud adalah yang tercatat atau memenuhi aturan administrasi yang terkait. Bukan tanah negara dalam artian luas, ataupun yang mencakup wilayah hutan.

Aset tetap lain yang naik cukup signifikan pada tahun 2019 berupa Jalan, Irigasi, dan Jaringan yang nilainya mencapai Rp852,16 triliun, atau bertambah sebesar 43,65 persen. Serta nilai Gedung dan Bangunan yang mencapai Rp365,44 triliun, atau naik sebesar 27,32 persen.

Pada prinsipnya, aset tetap dilaporkan berdasarkan neraca Kementerian/Lembaga tahun anggaran berjalan dengan harga perolehan. Penilaian kembali nilai aset (revaluasi) dapat dilakukan berdasar payung hukum tertentu, setelah dibicarakan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Hasil revaluasi juga harus diaudit dan disetujui oleh BPK. Pada praktiknya, terbilang tidak sering dilakukan atau hanya pada tahun tertentu.

Ketika BPK memberi opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas LKPP dapat diartikan secara pemeriksaan akuntansi berdasar metode dan sistem yang lazim, revaluasi tersebut telah dipertanggung-jawabkan oleh Pemerintah.

Akan tetapi, publik sebaiknya memperoleh informasi yang memadai, agar tidak terjadi narasi berlebihan dari pejabat Pemerintah. Misalnya, seolah nilai aset melonjak karena belanja modal, pembangunan infrastruktur, belanja produktif, atau narasi serupa.

Secara umum, pejabat yang mengatur pengelolaan barang milik negara adalah Menteri Keuangan. Termasuk di dalamnya kebijakan untuk menjual atau menyewakan tanah dan bangunan. Namun, ada banyak aturan dalam hal ini.

Kolom

Nusantara dari Sabang sampai Merauke di era Soekarno