Scroll untuk baca artikel
Blog

Sebelum Telanjur Jual Aset untuk Pindah Ibu Kota Negara

Redaksi
×

Sebelum Telanjur Jual Aset untuk Pindah Ibu Kota Negara

Sebarkan artikel ini

Pada prinsipnya, aset tetap dilaporkan berdasarkan neraca Kementerian/Lembaga tahun anggaran berjalan dengan harga perolehan. Penilaian kembali nilai aset (revaluasi) dapat dilakukan berdasar payung hukum tertentu, setelah dibicarakan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Hasil revaluasi juga harus diaudit dan disetujui oleh BPK. Pada praktiknya, terbilang tidak sering dilakukan atau hanya pada tahun tertentu.

Ketika BPK memberi opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas LKPP dapat diartikan secara pemeriksaan akuntansi berdasar metode dan sistem yang lazim, revaluasi tersebut telah dipertanggung-jawabkan oleh Pemerintah.

Akan tetapi, publik sebaiknya memperoleh informasi yang memadai, agar tidak terjadi narasi berlebihan dari pejabat Pemerintah. Misalnya, seolah nilai aset melonjak karena belanja modal, pembangunan infrastruktur, belanja produktif, atau narasi serupa.

Secara umum, pejabat yang mengatur pengelolaan barang milik negara adalah Menteri Keuangan. Termasuk di dalamnya kebijakan untuk menjual atau menyewakan tanah dan bangunan. Namun, ada banyak aturan dalam hal ini.

Salah satunya disebut pemindahtanganan barang milik negara dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR.

Untuk aset dengan nilai di atas Rp100 miliar misalnya, pengelolaan barang hanya boleh dialihkan dengan persetujuan DPR. Jika di atas Rp10 miliar harus dengan persetujuan presiden. Sedangkan yang hanya butuh persetujuan Menteri Keuangan adalah untuk pengalihan aset di bawah Rp10 miliar.

Jika memang ada pengalihan aset senilai hingga Rp1.000 triliun tentu akan merupakan kejadian sangat luar biasa dalam pengelolaan keuangan negara Indonesia. Belum pernah terjadi dengan nilai sebesar itu. Baik dalam artian dijual, disewakan, atau skema lainnya.

Secara teknis, tidak akan terjadi penurunan nilai aset dalam neraca. Bahkan, bisa bertambah, jika cukup besar perolehan dari pengalihan yang bersifat disewakan atau semacamnya yang tidak mengubah nilai aset tercatat. Padahal, nilai aset baru di ibu kota baru akan tercatat sesuai biaya perolehannya.

Persoalan semacam ini jelas tidak memadai jika dilihat berdasar nilai aset dalam neraca saja. Banyak aspek yang butuh penelisikan lebih dalam, proyeksi tentang dinamika ekonomi di masa mendatang, serta berbagai perhitungan yang lebih luas.

Pengelolaan keuangan negara, termasuk dalam hal aset pemerintah pusat, tidak sepenuhnya bisa disepadankan dengan keuangan perusahaan. Pertimbangannya mesti menghitung akibat pada seluruh dinamika perekonomian.