Anjloknya partisipasi masyarakat dalam Pilkada serentak 2024 mencerminkan lemahnya kesadaran politik dan minimnya kepercayaan terhadap proses demokrasi, sebuah peringatan bagi masa depan demokrasi kita
Oleh: Imam Trikarsohadi
(Dewan Pakar Pusat Kajian Manajemen Strategik)
PROSES Pilkada serenak 2024 usai sudah, tinggal menunggu penetapan hasil dari KPU. Tapi sedu sedan terkait hal itu tak akan mereda dalam waktu singkat, sebab ada berbagai catatan terkait partisipasi masyarakat yang anjlok.
Padahal, demokrasi dan masyarakat sipil seperti dua sisi mata uang, keduanya hidup berdampingan. Dengan masyarakat sipil yang kuat, demokrasi akan berjalan dengan baik. Dalam suasana negara demokrasi, masyarakat sipil juga akan tumbuh dan berkembang.
Masyarakat sipil adalah “rumah” demokrasi. Karena itu, demokrasi tidak hanya diwujudkan dalam pemilihan umum yang bebas dan demokratis, tetapi juga pembibitan di “rumah”, yaitu masyarakat sipil.
Keberagaman dan pluralisme masyarakat sipil dengan berbagai kepentingannya, jika diatur dan dikelola dengan baik, dapat menjadi landasan penting bagi persaingan demokrasi.
Tapi apa boleh buat, dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2024, kita secara nyata masih merasakan rendahnya pemahaman serta kemampuan masyarakat dalam menjalankan agregasi serta penerjemahan tentang makna politik, serta kebingungan cara melakukan partisipasi melalui prosedur dan cara berpolitik yang legal, konstitusional serta bermoral.
Keadaan semacam ini tentu bisa diartikan sebagai gejala dekratisasi. Sebagus apa pun system perpolitikan yang dibangun, semua akan sia-sia jika masyarakat tidak mempunyai kesadaran politik, karena merekalah sejatinya pelaku demokrasi.
Anjloknya jumlah masyarakat yang menggunakan hak pilihnya, tentu bukan hal yang wajar-wajar saja dalam demokrasi seperti pilkada, sebab prasyarat untuk keberhasilan pemilihan umum adalah partisipasi politik warga.
Dari fakta Pilkada serentak 2024, ada beberapa situasi yang menunjukan bahwa masyarakat mulai tak bergiarah lagi dengan fakta semakin banyaknya warga yang tidak hadir di tempat pemungutan suara.
Pun ketika masa kampanye berlangsung, mereka yang datang ke lokasi kampanye adalah komunitas -komunitas yang dikerahkan, sementara ada begitu banyak warga yang tetap memilih tidak hadir dengan berbagai alasan dibandingkan mendatangi lokasi kampanye.
Kita juga menjumpai ada begitu banyak warga dan komunitas yang apatis dan masa bodoh dengan segala prosesi Pilkada.
Bisa jadi, rendahnya partisipasi masyarakat pada Pilkada 2024 disebabkan Komite Umum Pemilihan (KPU) daerah sebagai penyelenggara tidak optimal dalam sosialisasi, ini bisa dilihat dari banyaknya warga yang tidak mengerti tujuan pemilihan; kurangnya informasi tentang kegiatan / implementasi pemilihan yang diperoleh masyarakat; serta banyak orang yang tidak memahami prosedur untuk memilih, dan sebagainya.
Selain itu, kepercayaan masyarakat terhadap partai politik juga sedang goyah, pasca Pilpres 2024. Ditambah banyak kontestan dadakan alias karbitan yang sonder memiliki catatan pernah menanam budi baik di daerah bersangkutan.
Termasuk para elite parpol yang terlalu pede menjadikan hasil kursi Pileg sebagai barometer. []