Enam mahasiswa ditahan, tapi suara solidaritas justru semakin nyaring di tengah malam di Joglo Al-Itqon.
BARISAN.CO – Ratusan aktivis, mahasiswa, seniman, hingga tokoh agama berkumpul di Joglo Pondok Pesantren Al-Itqon, Bugen, Pedurungan, Kota Semarang, Kamis malam (12/6/2025).
Mereka menggelar acara bertajuk Refleksi Demokrasi: Bersatu Padu Rebut Demokrasi yang diisi dengan istighotsah, doa bersama, orasi ilmiah, hingga pertunjukan seni sebagai bentuk solidaritas terhadap enam mahasiswa yang masih ditahan aparat kepolisian selama sebulan terakhir.
Acara ini digelar sebagai respons atas krisis demokrasi dan ruang kebebasan berekspresi yang dirasa kian menyempit.
Dalam suasana yang penuh keprihatinan namun tetap teduh, para peserta memadati area joglo pesantren. Mereka datang dari berbagai kalangan, mulai dari aktivis lingkungan, lembaga bantuan hukum, budayawan, akademisi, seniman, serta perwakilan mahasiswa dari berbagai kota seperti Yogyakarta, Salatiga, Surakarta, dan Sragen.
Suasana acara dibuka dengan pembacaan istighotsah dan doa bersama yang dipimpin oleh KH. Ubaidullah Shodaqoh, pengasuh Ponpes Al-Itqon.
Dalam tausiyahnya, KH Ubaidullah menyampaikan pentingnya merawat kejujuran dan semangat kebersamaan dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan demokrasi.
“Terima kasih saya sampaikan kepada teman-teman hati, teman-teman mahasiswa, dan siapa pun yang masih jujur dalam melihat negeri ini. Kita harus bersama-sama melangkah menuju Indonesia yang adil, bukan Indonesia yang penuh kebisingan dan kegelisahan,” ujar KH Ubaidullah dalam tausiyahnya.
Ia menekankan bahwa tidak ada demokrasi tanpa keberanian dan kasih sayang.
“Negara tidak akan berjalan tanpa kesadaran kolektif. Maka perjuangan ini bukan hanya milik mahasiswa, tapi harus melibatkan semua elemen masyarakat,” imbuhnya.
Orasi ilmiah dari berbagai tokoh, di antaranya KH Hudallah Ridwan (Katib PWNU Jawa Tengah), Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah, perwakilan LBH Semarang, serta sejumlah akademisi dan mahasiswa. Mereka menyuarakan pentingnya menegakkan kembali hak-hak sipil yang selama ini tergerus oleh kebijakan represif negara.
Dalam orasinya, KH Hudallah Ridwan menyampaikan tentang makna doa dan demokrasi. Bahwa demokrasi akan rapuh jika aparat penegak hukum justru mengekang kebebasan menyampaikan pendapat.
“Kita tidak bisa membiarkan mahasiswa yang kritis terhadap ketimpangan malah dikriminalisasi. Ini adalah ujian bagi demokrasi kita,” katanya.
Selain refleksi dan orasi, gelaran ini juga menghadirkan elemen seni sebagai bentuk perlawanan yang estetis.
Ketua Dewan Kesenian Semarang, Adhitia Armitrianto, membacakan puisi bertema pembebasan dan solidaritas.