Di Indonesia, masih sulit menemukan sekolah yang serius ajarkan siswa mengatur keuangan pribadi.
BARISAN.CO – Saat kecil, beberapa orang diajarkan bekerja keras agar dapat menghasilkan uang di masa depan. Tapi, di antara mereka justru jarang menerima nasihat tentang cara pengelolaan keuangan.
Tiap orang dewasa akan menghadapi investasi, pajak, perencanaan anggaran keluarga, dan menyisihkan uang untuk tabungan. Jika saja sejak kecil mereka memiliki pengetahuan, maka akan mampu mengambil keputusan keuangan yang tepat.
Pada tahun 2012, Pemimpin G20 mengesahkan Prinsip Tingkat Tinggi OECD/INFE tentang Strategi Nasional untuk Pendidikan Keuangan yang secara khusus menargetkan pemuda sebagai prioritas kebijakan pemerintah. Di tahun yang sama, Menteri Keuangan Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) mengidentifikasi, literasi keuangan sebagai keterampilan hidup yang penting.
Mengutip Go Banking Rates, tingkat literasi keuangan di Denmark sebesar 71 persen. Meski ada utang konsumen yang tinggi, umumnya rumah tangga cenderung memiliki aset yang besar. Karyawan di sana juga menerima program pensiun sekitar 10-15 persen dari pendapatannya dengan bunga majemuk, sehingga mereka sudah siap memikirkan keuangan masa depannya.
Selain itu, pendidikan keuangan wajib bagi siswa kelas 7 sampai 9 di Denmark. Remaja di sana juga berpartisipasi dalam acara tahunan Global Money Week, ajang para profesional keuangan datang dan berbicara di sekolah lokal untuk anak-anak usia 13-15 tahun yang diselenggarakan oleh Finance Denmark dan Danish Union of Teachers of Mathematics.
Tingkat literasi keuangan di Norwegia sama dengan Denmark. Kaum muda di Norwegia mendapatkan literasi keuangan melalui program yang didanai bank nasional. Program tersebut memberikan materi pembelajaran interaktif tentang topik keuangan pribadi dengan tujuan membantu mereka dapat membeli rumah dan pencapaian keuangan lainnya.
Swedia pun memiliki tingkat literasi keuangan yang sama dengan Denmark dan Norwegia. Sejak akhir 1873, gerakan tabungan sekolah diperkenalkan di Eropa oleh ekonom Prancis, Augustin Chaurand de Malarce yang terinspirasi dari Pamerian Dunia Wina.
Beberapa tahun setelahnya, Asosiasi Bank Tabungan Swedia mulai mengkampanyekan literasi keuangan di sekolah-sekolah. Kini, siswa di Swedia diajarkan konsep keuangan, berhitung, dan keterampilan hidup, seperti cara menabung untuk pensiun dan membeli rumah.
Di Indonesia, kita sulit menemukannya. Memang, di beberapa sekolah ada gerakan menabung, namun bisa jadi itu “uang titipan” orang tua siswa. Sehingga, anak tidak berpikir pentingnya menabung, berhemat, memprioritaskan pengeluaran, dan lain sebagainya.
Sekolah mengajarkan siswa tentang banyak hal, kecuali literasi keuangan. Sebab, jika seorang anak melek finansial, mereka akan memahami nilai uang dan bagaimana membelanjakannya dengan bijak.
Semakin dini pendidikan keuangan diperkenalkan, semakin siap mereka dengan tanggung jawab sebagai orang dewasa kelak. [dmr]