MASIH suka heran, karena sering mendapat tanggapan “wah Sampean hebat, berani tak menyekolahkan anak!”
Padahal saya merasa biasa saja. Saya tak menyekolahkan ragil saya sama halnya juga dengan aktivitas menghirup udara pagi. Atau tidur saat tesergap kantuk. Makan, minum, piknik. Dan seterusnya. Dan sebagainya. Singkatnya, biasa saja.
“Lho, Sampean kan menjalani pendidikan alternatif?” tukas yang lain.
Kenapa juga disebut alternatif? Apakah bersekolah itu memang satu-satunya pendidikan yang resmi, sehingga harus ada pilihan atau beberapa kemungkinan yang lain?
Padahal jelas, belajar atau berguru itu tidak mesti di lembaga yang memang menyelenggarakan belajar plus materi pelajaran. Berpelajaran tidak harus dalam pertemuan di suatu bangunan, plus waktu dan segala administrasinya. Menanam dan merawat rasa ingin tahu, serta semangat yang tak kunjung habis pada diri sang bocah untuk bereksperimen, jangan hanya dibenturkan pada pilihan sekolah tak sekolah.
Karena begini, memasrahkan anak ke sekolah sama tak seideal dengan tak menyekolahkan, selagi orangtua cuek pada kebebasan berpikir dan jiwa kreasi anak. Karena yang terpenting, orangtua harus berani menolak pengekangan. Orangtua mesti sanggup melintasi tabu. Orangtua wajib mencipta keseharian semangat bertanya. Memberi ruang-waktu keleluasaan berpikir.
Syahdan, saya pernah tidak menyekolahkan anak (homeschooling) bukan lantaran saya menjalani pendidikan alternatif dan menganggap bahwa sekolah sama dengan rumah sakit atau penjara. Dan kini dua anak saya itu memasuki sebuah pondok alternatif, itu juga atas pilihan sadar, yang lagi-lagi menempuh belajar yang tak harus berbau sekolah.
Lagian, kalau kita tengok kata “sekolah” itu sendiri memang dari semula berkonotasi dengan “waktu senggang”. Skole dalam bahasa Yunani bermakna waktu senggang. Kata skole inilah yang diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi school dan leisure.
Namun kini, kenyataan pendidikan tidaklah berkonotasi memanfaatkan waktu senggang. Justru sebaliknya, yang tak sekolah malahan memiliki banyak waktu. Saat ini, pendidikan lebih dipandang sebagai investasi untuk memperoleh “upah material” yang besar di kemudian hari. Pendidikan berfungsi agar menjadikan orang kaya raya.
Padahal, banyak pedagang, baik kaki lima maupun toko kecil pinggir jalan, yang sukses mendulang untung hingga jutaan rupiah per harinya, tidak lulus SD. Artinya, kalau memang berorientasi kaya raya, tidak semata berpatokan pada pendidikan.
Visi tentang fungsi pendidikan, pandangan bahwa pendidikan bisa membuat kaya raya, sudah usang. Terlebih kini, seiring komersialisasi pengetahuan dan informasi di media sosial, kita belajar bukan untuk sekolah (ujian, nilai, keahlian, kepintaran, ijazah, kemudahan mendapat pekerjaan), tetapi pertama-tama untuk hidup.
Karena itu, sudah seharusnya pendidikan dikembalikan kepada semangat “waktu senggang”, yaitu dalam pengertian “kembali kepada diri”. Pendidikan seharusnya bisa mengantarkan peserta didiknya untuk mengenali energi minimalnya. Dengan begitu, peserta didik bisa merintis jalan ke arah pengenalan diri autentiknya. Maka, pendidikan pun akan berfungsi sebagai panggilan untuk menjadi manusia.
Dalam tradisi hari Sabat Bani Israil: manusia harus beristirahat di hari ke tujuh sebagaimana Tuhan berhenti mencipta di hari ke tujuh. Berarti waktu senggang sebenarnya dipahami sebagai “human action on holiday”. Ingat, holy day alias hari suci.
Dengan demikian waktu senggang bukanlah diam pasif bermalas-malasan, tetapi mengkuduskan hari Tuhan yang juga merupakan hari manusia.
Namun, manusia dewasa ini banyak yang telah kehilangan waktu senggang. Akibatnya mereka semakin jarang bersentuhan dengan totalitas diri. Dalam waktu senggang, manusia punya banyak kesempatan berkontemplasi tentang yang sublim, yaitu, pengalaman eksistensial penting yang menjadi akar makna hidup.
Saya suka takjub melihat berbondong-bondong kendaraan di jalan raya saat akhir pekan, pertanda orang-orang kantoran itu merayakan waktu senggang. Mereka menghabiskan waktu dengan menepi ke tempat-tempat wisata yang menjanjikan kesenangan jasmani, seperti tempat karaoke, dan sejenisnya.
Mereka seperti tengah menggeluti suatu urusan yang tak pernah tuntas setiap minggunya. Hal itu mengisyaratkan, waktu senggang hari-hari ini hanya bermakna “jeda” demi peluang lebih banyak untuk mengonsumsi kesenangan, menikmati kebebasan dari ikatan kerja, dan kebudayaan pun dikuasai oleh pengelolaan konsumerisme.
Maka, waktu senggang bukanlah kembali kepada diri yang kudus, melainkan jeda dari kerja total. Sebab kini, peradaban manusia identik dengan kerja total, dan dunia pendidikan pun berperan mendukung hal tersebut.
Padahal ada mekanisme harian yang merupakan saat bagi penganut Islam untuk menikmati waktu senggang, yaitu salat. Dalam hadis pun disebutkan bahwa “salat adalah mikraj-nya mukminin”.
Tapi entahlah, memang sepertinya kita harus terus-terusan miris, sekolah dalam arti waktu senggang bukanlah mengkuduskan hari Tuhan yang juga sebagai hari manusia. [Luk]