BARISAN.CO – Sejumlah orang nampak berswafoto atau selfie di beberapa titik bencana erupsi Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur. Padahal, sudah terdapat larangan akses masuk ke beberapa arah tertentu yang dibuat oleh petugas karena wilayah itu masih rawan mengalami erupsi susulan.
Bupati Lumajang Thoriqul Haq menegaskan bahwa area terdampak letusan Gunung Semeru bukan tempat wisata. Ia meminta masyarakat untuk tidak mendekat ke wilayah tersebut karena hanya akan menghambat proses evakuasi.
Bencana seringkali menjadi trending topic sehingga mendorong orang datang dan berfoto kemudian digunakan sebagai update status dengan latar belakang foto area bencana dengan harapan mendapatkan apresiasi (like) ataupun komentar positif dari orang lain yang mampu membuat bangga orang yang mengupload.
Ahli media Yasmin Ibrahim dari Queen Mary University di Inggris menulis sebuah artikel yang menarik terkait topik ini. Dia menyebut fenomena ini sebagai ‘selfie bencana’ atau ‘pornografi bencana” dan mendefinisikannya sebagai “perilaku ganjil yang dimotivasi oleh keinginan mencapai kepuasan diri sendiri, dengan situasi pasca bencana sebagai latar belakang”.
Saat kita melihat kesengsaraan orang lain, seorang filsuf terkenal dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya Frankie Budi Hardiman mengatakan bahwa tindakan tersebut juga mengindikasikan bahwa kita sedang mencari informasi. Tindakan ini didorong oleh “keinginan tak penting untuk tahu” dan keinginan tersebut bersifat asing, menghakimi, egosentris dan eksploitatif.
Sebenarnya menakutkan ketika kita menyadari bahwa kebiasaan melihat penderitaan orang lain begitu mengakar di masyarakat kita. Hal tersebut juga menyiratkan bahwa kesedihan orang lain dianggap sebagai komoditas yang menghibur.
Praktik melihat penderitaan orang lain tanpa melakukan apa-apa pada akhirnya akan menjadi parah ketika kemudian orang-orang yang melihat itu mengambil selfie untuk mendokumentasikan kesengsaraan orang lain dan mendistribusikannya di media sosial.
Tindakan tersebut merupakan pertanda sebuah masalah moral yang serius, karena praktik mengambil selfie di lokasi bencana lebih jahat daripada menjadi pengamat saja. Kebiasaan tersebut merupakan gejala patologi sosial, yaitu hilangnya rasa empati.
Sentivitas Sosial
Dalam kondisi bencana seharusnya kita menunjukkan kepedulian terhadap yang mengalami bencana yang disebut dengan social sensitivity.
Beberapa bentuk kepedulian ini bisa ditampilkan melalui memasang status di media jejaring sosial seperti deep condolences, doa, dan sejenisnya. Tujuannya adalah menunjukkan kepedulian dan empati.
Bantuan yang lain berupa pendampingan informasi, medis, fisik, dan psikologis kepada keluarga korban. Hal semacam ini bisa menunjukkan kepedulian, empati, tanggungjawab atas masalah sosial yang merupakan bentuk sentivitas sosial.
Fenomena ini bukan tanpa solusi. Masyarakat bisa diedukasi yang mengarah pada hal yang sifatnya refleksi. Seperti merenungkan kembali makna tepo sliro. Artinya menempatkan diri sendiri pada kondisi korban dan keluarganya apakah bila dalam kondisi korban dan keluarga akan merasa seperti apa?
Kemarahan dan ketidaknyamanan akan muncul. Rasa marah dan tidak nyaman ini nantinya yang akan membangkitkan lagi semangat kesetiakawanan nasional. Dengan kata lain, kesetiakawanan nasional bukan hanya sekedar slogan tetapi langkah nyata. [rif]