Scroll untuk baca artikel
Cerpen

Sih Kedasih – Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Sih Kedasih – Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

“Pergilah!  Jangan sampai Aku kehilangan kesabaran!” 

“Jangan-jangan Engkau adalah mata-mata Majapahit!” hardik Ghofur kepada Paramita.  Dibentak sedemikian rupa, perempuan bernama paramita itu hanya tertunduk sedih.  Dari sudut matanya menetes dua butir air bening.

“Aku hanya ingin mencari suamiku.  Selain urusan itu aku tidak tahu,”  jawab Paramita tak dapat menahan tangisnya.

“Sudah aku katakan bahwa aku bukanlah suamimu.  Di dunia ini banyak orang yang mirip,” sahut Ghofur dengan suara yang lebih tinggi. 

Suara Ghofur yang sedemikian kasar sekali lagi membuat Paramita meneteskan kembali air matanya.  Seumur-umur baru kali ini ia dibentak dengan kasar. 

Resi Wiyasa, guru sekaligus orang tuanya tak pernah sekalipun mengajarkan untuk berkata kasar kepada orang lain.  Resi wiyasa selalu menekankan untuk lemah lembut dalam bertutur kata.  Karena menurut beliau itu bagian dari upaya ‘meper hawa nafsu.”

“Tapi naluriku berkata demikian.  Kakang adalah Mpu Loka Syiwa.  Anak dari Brahmana Wilis dari padepokan Watu ambal,” sambung Paramita sembari menatap wajah Ghofur dengan tatapan penuh harap.

“Persetan dengan nalurimu!  Dasar perempuan sundal!  Namaku Ghofur.  Aku tak kenal siapa itu Loka Syiwa dan Brahmana Wilis,” sahut Ghofur sengit sambil membalikkan badannya hendak meninggalkan Paramita.

“Baiklah!  Tapi sebelum pergi, bolehkah aku bertanya tentang sesuatu,” pinta Paramita sambil berlari menghadang langkah Ghofur.  Perempuan itu benar-benar nekat.

“Pergilah!  Jangan sampai aku kehilangan kesabaranku!” hardik Ghofur sekali lagi dengan penuh kegeraman. 

Sementara itu dari balik belukar sepasang mata mengawasi tingkah polah Ghofur dan Paramita.  Berkali-kali seseorang di balik belukar itu menghela nafas panjang. 

Matanyapun tampak sembab berkaca-kaca menahan kesedihan.  Dari raut mukanya, lelaki itu terlihat merasa bersalah sekali.

“Apa Kakang ingat dengan perempuan bernama Paramita?  Apakah Kakang juga ingat dengan padepokan Tinatar di kaki gunung Semeru?” tanya Paramita penuh harap. 

Sejenak terlihat kekagetan menghiasi wajah Ghofur tapi hanya sepersekian detik saja.  Hanya Ghofur saja yang dapat merasakan kekagetan hatinya itu.

“Tidak tahu!  Mungkin saja apa yang Kamu sebutkan itu memang ada.  Tapi aku tak peduli,” jawab Ghofur ketus.

“Baiklah kalau Kakang tidak tahu.  Tapi apakah Kakang tidak ingat dengan bocah lucu bernama Asmaradhana?” tanya Paramita masih dengan nada penuh harap. 

Sekali lagi terlihat keterkejutan menyergap wajah Ghofur.  Tapi keterkejutan yang teramat singkat dan segera ia tumpas.  Dan hanya Ghofur saja yang dapat merasakan keterkejutannya itu.

“Sandiwara apa lagi ini!  Cukup!  Sekarang pergilah!” 

Meski terdengar tegas tapi kali ini nada bicara Ghofur sudah tidak sekeras sebelumnya.  Dan kali ini Paramitapun tak berani lagi menahan langkah Ghofur. 

Perempuan itu hanya dapat menatap Ghofur yang mulai melangkah meninggalkannya.  Terus terang Paramita  masih terpaku tak percaya dengan pengakuan Ghofur barusan.

“Tega sekali Engkau Kakang Loka Syiwa.  Mengapa Engkau seperti menganggap hina masa lalumu sendiri?  Aku mungkin boleh Engkau lupakan, tapi tidak dengan Asmaradhana darah dagingmu sendiri,” bisik hati Paramita sedih. 

Nalurinya sebagai seorang istri dan ibu sangat yakin bahwalelaki bernama Ghofur itu adalah Mpu Loka Syiwa seorang resi anom penganut Syiwa Budha yang juga adalah suaminya.