Scroll untuk baca artikel
Berita

Siti Fadilah Bongkar Bahaya Amandemen IHR WHO: Rakyat Harus Bergerak

×

Siti Fadilah Bongkar Bahaya Amandemen IHR WHO: Rakyat Harus Bergerak

Sebarkan artikel ini
Amandemen IHR WHO
Ilustrasi

DR. Siti Fadilah Supari dan Purn. Komjen Dharma Pongrekun menyerukan penolakan terhadap amandemen IHR 2024 yang dinilai mengancam kedaulatan Indonesia.

BARISANCO – Sejumlah tokoh nasional menyuarakan penolakan terhadap dominasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui amandemen International Health Regulations (IHR) yang dijadwalkan efektif pada 19 Juli 2025.

Dalam rilis yang beredar, Sabtu (19/07/2025), DR. dr. Siti Fadilah Supari SPJP(K) dan Purn. Komjen Dharma Pongrekun menyatakan kekhawatiran mereka atas potensi hilangnya kedaulatan bangsa dan negara jika amandemen tersebut diberlakukan tanpa penolakan resmi dari pemerintah Indonesia.

IHR sendiri merupakan seperangkat regulasi kesehatan internasional yang menjadi acuan dalam penanganan pandemi.

Namun, amandemen terbaru yang telah diadopsi secara konsensus oleh World Health Assembly pada 1 Juni 2024 dinilai mengandung banyak pasal kontroversial dan merugikan, hingga membuat negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Rusia memilih keluar dari WHO.

Poin utama penolakan disampaikan berdasarkan sepuluh alasan pokok. Yang pertama dan paling krusial adalah potensi hilangnya kedaulatan.

Amandemen ini memberi kewenangan penuh pada Dirjen WHO untuk menetapkan status pandemi secara global, tanpa melibatkan otoritas nasional masing-masing negara.

Hal ini dinilai dapat membuat presiden suatu negara tidak lagi memiliki wewenang melindungi rakyatnya dalam situasi darurat kesehatan.

Poin kedua adalah redefinisi pandemi yang dinilai terlalu longgar dan berisiko disalahgunakan. Pandemi kini disamakan dengan Public Health Emergency of International Concern (PHEIC), yang berarti status darurat bisa diberlakukan dalam situasi yang sebenarnya masih lokal atau belum cukup genting.

Selain itu, terdapat kekhawatiran besar terkait pembiayaan. Dalam pasal 44, beban finansial penanganan pandemi sepenuhnya dibebankan kepada masing-masing negara, tanpa kejelasan mekanisme pengelolaan dana, audit, atau perlindungan dari konflik kepentingan. Ketidakterbukaan ini dianggap sebagai ancaman terhadap akuntabilitas publik.

Dari sisi hukum, amandemen ini juga dianggap cacat prosedural. WHO tidak menyerahkan versi final IHR minimal empat bulan sebelum pemungutan suara seperti yang dipersyaratkan Pasal 55(2). Bahkan, sejumlah pasal dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip kedokteran dan hak asasi manusia.

Di antaranya, kewajiban karantina terhadap orang sehat (OTG), keharusan vaksinasi bagi pelaku perjalanan luar negeri, dan intervensi paksa terhadap operator transportasi.

Pernyataan ini juga menyoroti keharusan negara membuat undang-undang nasional yang sesuai dengan aturan WHO (pasal 4), yang dinilai dapat mengebiri kehendak rakyat sendiri.