Scroll untuk baca artikel
Terkini

Soal MMT, Eks ASN Anggap Mardigu Wowiek ‘Sesat Pikir’

Redaksi
×

Soal MMT, Eks ASN Anggap Mardigu Wowiek ‘Sesat Pikir’

Sebarkan artikel ini

Eks ASN Kemenkeu kritik keras Mardigu Wowiek soal MMT.

BARISAN.CO – Mantan ASN (Aparatur Sipil Negara) Kementerian Keuangan, Ferry Irwandi menilai, pandangan Bossman Mardigu Wowiek tentang Modern Monetary Theory (MMT) sesat pikir, yang dia kemukakan dalam channel Youtube-nya.

Tokoh MMT termahsyur adalah Michael Hudson, namun yang mempopulerkan MMT di Indonesia ialah Mardigu, kata Ferry. Michael Hudson ialah seorang ekonom dan politisi di China, sekaligus konsultan penerapan MMT di China.

Hudson memang sering membahas MMT, tapi lebih dikenal anti-capitalism, Marxist, dan penentang status quo, tambah Ferry.

“Kalau kita bicara MMT-nya sendiri itu ada banyak sekali nama, misalnya Binichel, orang yang pertama kali menamai teori MMT, kemudian ada Randall Wray, Warren Mosler, dan tentunya Stephanie Kelton. Orang-orang yang gue sebut ini adalah profesor bukan orang bodoh, orang yang memang mengerti apa itu ekonomi,” kata Ferry.

Semua nama tersebut asalnya dari spektrum kiri Amerika Serikat, menantang status quo, tidak suka dengan sistem ekonomi yang sedang bekerja sekarang, dan mencoba menawarkan satu alternatif baru yaitu MMT, jelas Ferry. Dia memandang, poin utama dari teori MMT berangkat dari pemerintahan yang punya kontrol penuh dalam memproduksi uang yang digunakan untuk membiayai kebutuhan sebuah negara termasuk pemenuhan lapangan pekerjaan.

Ketika lapangan pekerjaan ini sudah terpenuhi, maka dampak inflasi yang timbul setelahnya itu bisa diatasi dengan berbagai cara, Ferry menjelaskan, salah satunya dengan tax the rich, balik lagi ini spektrumnya kiri.

“Jadi, dengan MMT itu sendiri ketergantungan negara kepada utang bisa direduksi karena menurut penganut MMT, ‘Ngapain lu utang ke luar negeri atau ke dalam negeri? Kenapa lu ga sekalian printing money-nya?’ dan, poin yang paling membedakan MMT dengan katakanlah arus utama eknomi sekarang adalah soal pengenaan bunga dan defisit,” terangnya.

Dia menekankan, MMT bukan sistem ekonomi yang menyeluruh, tapi bagian yang terintegrasi dari sebuah sistem yang dijalankan sebuah negara dalam kondisi tertentu.

Sementara, di antara para tokoh-tokoh MMT yang disebutkan Ferry, masing-masing orang punya perbedaan pandangan, misalnya Stephanie Kerlton, yang tidak percaya tax sebagai solusi atas inflasi yang terjadi apabila negara itu membangun project by printing money.

“Kalau menurut Hudson sendiri beberapa negara itu memang tidak didesain untuk menerapkan sistem MMT karena bergantung sama kekuatan nilai mata uang yang mereka miliki. Jadi, ga semua negara bisa menggunakan printing money sebagai solusi atas sebuah permasalahan dan Hudson mencontohkan, seperti Venezuela dan Yunani,” ungkap Ferry.

Secara blak-blakkan, Ferry mengemukakan, apa yang dia pahami dengan apa yang diterima kebanyakan masyarakat Indonesia dari Mardigu sangatlah berbeda.

Pertama-tama, Ferry menelusuri sumber asal pemahaman China pernah menggunakan dua mata uang, yang akhirnya dia menemukan dari banyak video, Mardigu salah satu yang membahasnya dan salah satunya di podcast Akbar Faizal.

Hal pertama yang dikoreksi Ferry adalah soal Tianament Papers, buku itu bukan dibuat tahun 1989, melainkan 2001.

“Buku itu sendiri dilarang peredarannya di China karena buku itu sama sekali tidak berbicara soal chicklit meeting of China seperti yang pak Mardigu bilang ga ada tagline yang seperti itu. Buku itu menceritakan soal masalah sosial, kemanusiaan, dan politik yang terjadi di daerah Tiananmen itu sendiri, yang mana terjadi pelanggaran HAM di situ dan lain sebagainya,” imbuhnya.

Konteksnya saja sudah salah, Ferry bingung kenapa Mardigu menyebutkan buku ini saat mau menjelaskan soal bagaimana China mau melakukan pembangunan karena begitu berbeda. Ferry kemudian menyebut, hal yang disampaikan Mardigu soal Tianament Papers ibarat belajar bahasa Indonesia, tapi malah dikasih referensi buku Fisika.