Scroll untuk baca artikel
Gaya Hidup

Social Media Screening Jadi Praktik Umum Perekrutan Karyawan

Anatasia Wahyudi
×

Social Media Screening Jadi Praktik Umum Perekrutan Karyawan

Sebarkan artikel ini
Social Media Screening
Ilustrasi foto/Pexels.com

Selain CV, social media screening jadi praktik umum dalam perekrutan karyawan.

BARISAN.CO – Saat ini bukan hanya CV, namun social media screening telah menjadi praktik umum dalam perekrutan karyawan. Baru-baru ini, konten kreator sekaligus pegawai BUMN Vina Muliana menyampaikan bahwa media sosial akan dicek oleh perusahaan.

Vina menuturkan, 80 persen dari rekruter itu pasti akan melakukan backround verification atau verifikasi latar belakang dan salah satu hal yang diverifikasi itu adalah jejak digital.

“Jadi, hati-hati banget kalau misalnya mau posting sesuatu, mengomentari sesuatu atau mau share sesuatu jangan sampai itu malah berdampak ke masa depan teman-teman semua,” pesan Vina.

Hayden Cohen, Co-founder HireWithNear menulis, kontroversi dari social media screening ini pada dasarnya profil seorang kandidat pelamar tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.

Namun, melalui cara ini, perusahaan dapat mengindentifikasi red flag pelamar untuk menghindari potensi masalah dan memastikan mempekerjakan individu yang menjunjung tinggi nilai serta standar perusahaan.

Cohen mengungkapkan, kehadiran dan perilaku online seseorang dapat memberitahukan tentang kepribadian calon karyawan.

“Sebuah perusahaan mungkin memandang karyawan yang bersikap kasar atau tidak senonoh di media sosial karena hubungannya dengan orang tersebut merusak merek. Hampir semua perusahaan ingin menjauhkan diri dari karyawan yang memposting konten diskriminatif atau ilegal,” ungkap Cohen, dikutip dari Select Software Reviews.

Di sisi lain, Cohen menyebut, social media screening bisa berpotensi bias. Ketika perekrut mempunyai akses terhadap kepentingan dan aktivitas pribadi seorang kandidat, mereka mungkin secara tidak sadar lebih memilih kandidat dengan minat yang sama.

“Sehingga menyebabkan praktik perekrutan yang tidak adil,” kata Cohen.

Cohen menambahkan, tidak semua informasi di media sosial itu relevan dengan kinerja kandidat.

“Misalnya, seorang kandidat mungkin memiliki profil pribadi, beberapa profil, atau menggunakan nama samaran, sehingga sulit memverifikasi informasi,” tambah Cohen.

Ditambah, media sosial tidka memberikan informasi komprehensif tentang latar belakang kandidat, seperti catatan kriminal.

Ini juga bisa memakan waktu karena banyaknya pltaform media sosial dan banyak konten yang dibagikan.

“Perekrut harus menyadari potensi kelemahan ini dan memutuskan apakah manfaatnya lebih besar daripada kerugiannnya sebelum menerapkan social media screening ini dalam proses perekrutan,” papar Cohen. [Yat]