Sebagai senior saya pun bilang kepadanya, gelisah itu perintah Tuhan. “Perintah piye,” gerutunya, “sampean pengarang ojo ngarang terus, Mas.”
Lho, tukas saya, itu ujian untuk kita bisa berkomunikasi dengan diri kita sendiri. Tatkala kita mampu mengatasi demam panggung, itulah ekspresi. Lalu cetus saya: kalau orang tidak bisa berkomunikasi dengan diri sendiri, bagaimana mungkin dia bisa berkomunikasi dengan publik?
Entah apakah Kamto menganggap ujaran saya itu sebagai karangan atau tidak. Tapi pada kenyataannya, setelah penampilan total ekspresinya, dia selalu tampak puas. Tandanya mudah dilihat, dia tampak tertunduk diam saat disalami banyak teman, dan matanya tampak berkaca-kaca.
Pertemuan terakhir saya dengannya, saat kami tampil baca puisi di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo. Ialah pada acara Mengenang dan membaca puisi karya Murtijono di Teater Arena 2022. Dari Semarang: Timur Suprabana, Soekamto Gullit, Eko Tunas. Dari Solo: Sosiawan Leak, Hanindawan, dll, dan orasi Halim Hade.
Dari Wisma TBJT ke Teater Arena sebenarnya tidak jauh. Tapi Leak mengatur agar dua senior, Kamto dan saya menumpang mobil Baehaki. Maklum jalan menanjak, dan kami pasti akan menggeh menggeh, padahal mau baca puisi.
Harus saya akui, untuk naik level panggung yang cukup tinggi, saya mesti dipapah Leak. Tapi Kamto tidak, dia naik level dengan cukup lincah, meski kelelahan tampak pada wajah dan sosoknya. Kamto tidak seperti saat dia total dalam Bulan Pecah. Dia tampak lebih santun, terlebih dengan kostum baju surjan dan sarungnya. Tidak seperti saat Bulan Pecah, bahkan dia bersinglet hitam, menampakkan otot-otot Gullitnya.
Ya, Kamto telah letih menjalani totalitas lahir-batin hidupnya. Hingga ia mesti menutup layar enerjinya, panggung di saat dia berkomunikasi dengan dirinya dan publiknya, menjadi ekspresi jiwa kepenyairan. Puisi Bulan Pecah mungkin masih dikenang banyak sahabatnya. Terutama empat penyair “Anjing Mencintai Bunga”: Timur Suprabana, Beno Siang Pamungkas, Achiar M Permana, Slamet Priyatin.
Lima ‘anjing Semarang’ yang pernah menyalak di banyak kota. Dengan tenang Kamto pergi meninggalkan empat sekawanannya. Dan sebagai senior saya saksi kehebatan kalian sebagai para penyair Semarang dengan sifat khas Semarang seperti yang diekspresikan dalam watak Gullit. Keras tapi menyimpan kelembutan bagai purnama.
Tentu di sana Kamto tengah mengumpulkan serpihan bulan yang pernah dipecahkannya. Selamat jalan, Soekamto Gullit, nanti kita pasti bertemu lagi. Baca puisi bersama lagi, meski tanpa rembulan.***