“Konsep pemulihan green economy recovery, harus dilakukan dengan konsisten beserta implementasi yang sustain. Semua agar lingkungan hidup tetap terjaga dan tidak hanya memikirkan keuntungan ekonomi semata. Tetapi meningkatkan keadilan sosial dan peningkatan kualitas hidup,” terangnya
Poppy menyayangkan, aspek budget allocation, program mitigasi lingkungan dan adaptasi masih dianggarkan sangat kecil pada APBN 2021-2022. Praktis anggaran tidak mendukung program green economy.
“Belum lagi inkonsistensi kebijakan lingkungan yang sangat kontradiktif dalam UU Ciptaker yang terkesan sangat melindungi pengusaha batubara. Padahal Indonesia masih menempati urutan ke 5 terbesar dunia dalam emisi karbon batubara,” jelasnya.
Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Universitas Paramadina Handi Risza mengatakan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi kekayaan tambang Indonesia dilakukan tanpa pernah memikirkan aspek perbaikan lingkungan.
“Hal itu menjadi salah satu sebab mengapa Indonesia tidak bisa melepaskan diri atau tergantung dari hasil komoditas Sumber Daya Alam (SDA). Akibat perekonomian yang terlalu bergantung pada komoditas. Maka tidak pernah bisa leading menuju industrialisasi pengolahan yang berbasis pada nilai tambah produk SDA,” tegas Handi
Handi menyampaikan, karena tidak terlalu aware dengan keberadaan lingkungan, maka akibatnya terjadi kerusakan hutan primer dengan alih fungsi lahan yang meluas. Pencemaran terjadi di banyak tempat. Terjadi environmental degradation akibat pembangunan yang hanya mengandalkan sektor komoditas SDA.
“Hingga akhirnya Indonesia memiliki 10 masalah besar lingkungan dengan problema sampah nasional 67,8 juta ton sampah, yang merupakan masalah terbesar (40%), dan bencana banjir di urutan kedua (20%),” lanjutnya.
Mengatasi masalah tersebut, menurut Hendi, menjadi tugas pemerintah sebagai otoritas yang memiliki kebijakan, modal anggara, infrastruktur. Dan birokrasi pemerintahan yang lengkap kiranya sudah harus mulai menata pembangunan pro lingkungan dan sustainable. []



