BARISAN.CO – Tidak ada yang dapat menandingi ketangguhan seorang Ibu. Sejak mengandung hingga melahirkan, begitu juga setelah anak-anak besar, kasih Ibu selalu mengiringi setiap langkah anak-anaknya.
Sri Aisyah adalah salah satu contohnya. Perempuan yang akrab disapa Aisyah ini sepanjang hidupnya berjuang demi anak-anaknya.
Dia tidak pernah membayangkan rumah tangganya akan penuh penderitaan. Namun, satu fokus utamanya saat itu, sebagai seorang ibu, dia tidak boleh menyerah.
Saat menikah, hidupnya berubah 180 derajat. Aisyah harus bangun lebih awal untuk menyiapkan kebutuhan bagi suami dan anak-anaknya. Kemudian, dia pergi mengajar.
Aisyah menceritakan bahwa suaminya tidak bekerja. Sehingga, dia harus mencari nafkah tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Terlebih, dia memiliki banyak anak yang tentunya membutuhkan biaya tidak sedikit.
Setelah pulang mengajar, dia menyiapkan makan siang serta beristirahat sejenak sebelum bekerja kembali sebagai pedagang kopi keliling di pelabuhan Tanjung Priok.
Tak ada kata lelah dalam kamusnya. Perempuan asal Jakarta itu menyebut suaminya tipe pecemburu. Saat ada laki-laki yang menggodanya saat berjualan, suaminya marah. Aisyah berkali-kali dipukuli. Dia tak berdaya pada waktu itu. Jangankan bercerai, melawan pun ia kewalahan.
Untuk mencari uang lebih, dia berpindah-pindah pekerjaan yang sekiranya dapat bergaji lebih cukup. Saat itu, kantornya berada di lantai bawah bar.
“Ada tetangga yang bilang kalau saya masuk ke bar. Padahal ruangan di bawah bar itu ada ruang kerja kantor. Tapi suami terbakar cemburu, saya digebuki,” kata Aisyah kepada Barisanco.
Menurut Aisyah, dia tidak ingin bercerai saat itu karena khawatir dengan anak-anaknya. Seperti beberapa perempuan lainnya. Aisyah dilema dengan bergelut dengan pikiran: Bagaimana anak-anak nanti hidup tanpa bapaknya? Meski dia tahu bahwa suaminya melakukan kekerasan, Aisyah hanya bersabar dan bertahan.
Kebangkitan Penyintas Kekerasan dalam Rumah Tangga
Sejak tahun 2014 lalu, Aisyah memutuskan bercerai. Dia mengambil keputusan itu setelah melihat anak-anak sudah mulai besar.
“Anak-anak sekarang sudah kerja. Yang paling kecil usianya 16 tahun, SMA kelas 1 di Bandung. Yang paling besar, 28 tahun,” tutur Aisyah dengan wajah sumringah ketika memperlihatkan foto anak, mantu, dan juga cucunya.
Menjadi penyintas bukan hal enteng. Terlebih sulitnya mengobati trauma yang membekas di pikiran manusia. Sebab itulah, Aisyah ingin tidak ada lagi korban, setidaknya dengan kegiatan yang dia kerjakan bersama teman-temannya.
Dia menginisiasi Barisan Emak-Emak Milenia (BEM) melakukan sosialiasi untuk meminimalisir jatuhnya korban. Komunitas ini berfokus pada pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Dia adalah sosok penyintas KDRT, sekaligus pejuang. Perempuan kelahiran tahun 1967 ini tampak masih begitu bersemangat.
Selama berjalan dengan BEM, Aisyah tak sama sekali mendapat dukungan dana dari pihak mana pun. Dia dengan para ibu-ibu lainnya melakukan apa pun yang mereka bisa lakukan untuk negeri ini.
Bahkan dalam setiap kesempatan, dia tampak begitu bersemangat. Dia menyadari walaupun hidup kekurangan, bukan berarti tidak dapat berarti bagi orang lain.
“Saya ingin saat menghadap Tuhan nantinya. Saya bisa bilang, Tuhan saya sudah begini-begitu,” tutur Aisyah. [dmr]