Apakah uang negara benar-benar kembali kepada rakyat? Pertanyaan inilah yang jadi pembuka diskusi hangat dalam Suluk Senen Pahingan edisi ke-36 di Semarang
BARISAN.CO – Edisi ke-36 Suluk Senen Pahingan kembali digelar dengan menghadirkan tema, “Uang Negara, Uang Kita: Apa Hubungannya.” Acara yang berlangsung pada Minggu (4/05/2025) malam di Joglo Pondok Pesantren Al-Itqon, Bugen, Kota Semarang.
Dipandu oleh moderator Bastomi Rifai, gelaran ini tak hanya menghadirkan diskusi hangat mengenai anggaran negara, tetapi juga dimeriahkan oleh penampilan musik dari Kaukab Band dan pembacaan puisi oleh Beno Siang Pamungkas yang turut memperkuat suasana reflektif khas Suluk Senen Pahingan.
Guru Besar Ekonomi Universitas Diponegoro (UNDIP), Prof. FX. Sugiyanto, membuka pandangannya dengan sebuah kekhawatiran mendalam terkait kondisi pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat ini.
“Dalam pembicaraan mengenai anggaran negara, khususnya APBN, saya merasa perlu untuk mengungkapkan kekhawatiran saya. Saya ingin jujur dan berbicara dengan terbuka mengenai kondisi saat ini, yang menurut saya sangat penting untuk dipertimbangkan oleh kita semua,” ujarnya di hadapan para hadirin.
Menurutnya, efisiensi dalam pengelolaan anggaran negara memang perlu dilakukan. Namun ia mempertanyakan apakah langkah-langkah penghematan yang dijalankan pemerintah telah dilakukan dengan cara yang tepat.
“Efisiensi bukan hanya soal pengurangan anggaran, melainkan bagaimana kita tetap memastikan kebutuhan dasar masyarakat tetap terpenuhi. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melayani rakyat, dan inilah yang harus menjadi prioritas dalam pengelolaan APBN,” tegasnya.
Lebih jauh, FX. Sugiyanto menyebut bahwa akar dari berbagai persoalan yang terjadi dalam kebijakan fiskal bukan hanya sekadar teknis ekonomi, melainkan terletak pada melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Ia menyinggung pentingnya trust atau kepercayaan publik dalam pelaksanaan kebijakan negara. Dengan merujuk pada kajian-kajian ekonomi politik, ia menekankan bahwa trust adalah elemen vital dalam sistem demokrasi yang sehat.
“Ketika masyarakat percaya pada pemerintah, kebijakan akan lebih mudah diterima dan diinternalisasi. Namun sebaliknya, ketika distrust (ketidakpercayaan) meningkat, maka kebijakan meskipun baik di atas kertas akan ditolak secara sosial dan moral,” jelasnya.
Menurut FX. Sugiyanto, ketidakpercayaan publik tersebut sering kali bersumber dari ketimpangan akses terhadap informasi, minimnya partisipasi publik dalam proses kebijakan, serta arogansi kekuasaan dalam mengambil keputusan yang tidak mengindahkan suara masyarakat.
“Dalam hal ini, pembangunan yang tidak partisipatif dan tidak transparan akan melahirkan perlawanan yang tidak hanya bersifat politik, tetapi juga sosial dan ekologis,” jelasnya.