Pola pandang klub dan PSSI harus berubah karena selama ini, suporter sepak bola dipandang sebagai objek yang membakar semangat, kemudian dikapitalisasi, menguntungkan secara bisnis.
BARISAN.CO – Ketika mengidolakan klub sepak bola, kita mungkin mati-matian untuk mendukung dan membelanya. Namun, terkadang fanatisme ini membutakan.
Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Suporter Indonesia (FKSI), Prapto Koting mengatakan, rivalitas antar suporter ini jangan sampai menjadi fanatisme yang sempit.
Dia menuturkan, ini PR bagi suporter dan ketua suporter perlu menyosialisasikan hal tersebut. Bahwasanya, pertandingan hanya 90 menit.
“Suporter ini untuk mendukung biar timnya bermain bagus, menang. Cuma menang kalah ini hal yang lumrah ketika ada satu pertandingan,” katanya pada Mimbar Virtual, “Refleksi Tragedi Kanjuruhan”, Rabu (12/10/2022).
Dia mengungkapkan, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) selama ini, kalau ada kerusuhan tidak pernah turun tangan langsung, tetapi yang disalahkan selalu suporter.
“Sehingga, saya berharap PSSI membina suporter di Indonesia ini. Padahal, timnas juga dari klub-klub ini sehingga PSSI tidak bisa lepas tangan,” lanjutnya.
Prapto menceritakan, dia beberapa kali membuat acara sarasehan di mana mengusulkan agar PSSI membuat pertemuan rutin antar suporter.
“Ini juga ga pernah dilaksakan oleh PSSI. Sedangkan, pembinaan dari klub, aturan main dan sebagainya, sangat minim untuk suporter,” tambahnya.
FKSI berharap, dengan adanya tragedi Kanjuruhan Malang ini, klub mau berkomunikasi dengan organisasi suporter yang ada di tempat masing-masing.
“Paling tidak sosialisasi tentang aturan, bagaimana nanti kalau melanggar? Akan ada sanksi nanti,” sambungnya.
Menurutnya, ini juga harus disosialisasikan oleh ketua-ketua suporter ke bawah. Sehingga, yang ada di bawah, anak-anak bisa mengetahui aturan yang ada menurut statuta PSSI.
“Ini sebenarnya momen sangat tepat sekali jikalau PSSI dan klub-klub ini mau memberikan support atau edukasi kepada suporter. Jangan sampai manajemen di klub itu malah membuat konflik di internal suporter,” tegasnya.
Dia membeberkan, ada masalah lain, yakni soal tiket.
“Suporter tur itu biarkan komunikasi dengan suporter tuan rumah sehingga ada hubungan yang harmonis. Karena akhir-akhir ini, saya lihat pesan tiket aja harus manajemen yang mesenin,” terangnya.
Prapto menilai, itu sama saja dengan membatasi hubungan komunikasi dengan suporter lain.
“Harapan kami ada perubahan. Paling utama edukasi klub terhadap suporter yang ada di tempat masing-masing,” ujarnya.
Dia juga berharap, ada aturan setiap sebulan sekali atau dua bulan sekali ada pertemuan suporter dengan pemain sehingga komunikasi berjalan dua arah.
Sedangkan, Dewan Pembina Persatuan Streetsoccer Indonesia (Persocci) DKI Jakarta, Hartono mengutarakan, cara pandang klub dan pengurus PSSI terhadap suporter harus mulai berubah.
“Suporter tidak hanya sekadar dipandang sebagai objek, tapi sebagai subjek. Artinya, punya peran karena klub, PSSI tanpa suporter itu ga ada apa-apanya,” tuturnya.
Dia menjelaskan, selama ini suporter itu dipandang sebagai dasar ekonomi alias objek, yang membakar semangat, kemudian dikapitalisasi, menguntungkan secara bisnis.
“Padahal, kalau berhitung di sisi bisnis klub, PSSI bisa share pembinaan suporter, dan suporter diberi peran. Barcelona, suporternya kayak koperasi gitu, klub itu dimiliki oleh suporter, jadi yang menentukan pengurus klub itu suporter-suporter,” imbuhnya.
Hartono mengemukakan, presiden klub Barcelone itu takut sama suporter karena pemegang saham paling banyak itu suporter.
“Mungkin di Indonesia bisa dengan format lain. Mulai dijadikan subjek suporter ini bukan objek yang cuma dieksploitasi secara ekonomi oleh klub atau yang lainnya sehingga suporter ini juga berdaya,” ucapnya.