Scroll untuk baca artikel
Kolom

Surga di Telapak Kaki Pengembang

Redaksi
×

Surga di Telapak Kaki Pengembang

Sebarkan artikel ini

Saat perekonomian diprediksi akan terus bergairah, para Pengembang terus bergerak menciptakan sorga-sorga kehidupan yang baru. Kawasan Pondok Indah yang tahun 1970-an masih perkebunan karet disulap menjadi kompleks permukiman mewah.

Begitu pula dengan Serpong, Karawaci, Cikarang, Cirendeu, dan sebagainya. Hunian yang lebih sederhana dengan daya beli menengah ke bawah juga dibangun di Depok. Singkat cerita, setiap orang dibuatkan sorganya masing-masing yang fasilitasnya tergantung dari daya beli. Bukan iman dan taqwa sebagaimana kita orang-orang beragama.

Bukan itu saja, setiap pagi sebelum berangkat ke kantor, sebuah stasiun televisi swasta gencar menawarkan promosi. “Buruan, hanya Rp1 miliar, tiga hari lagi naik Rp1,2 miliar,” cetus bintang iklannya, tak lupa menampilkan maket-maket kompleks hunian super mewah.

“Hanya satu miliar?” Mungkin itu terdengar muskil bagi mayoritas warga DKI Jakarta yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta. Saya saja yang take home pay Rp10 juta, dipotong pajak 10 % x Rp5,5 juta (penghasilan kena pajak), bila menabung separuh dari semua penghasilan tidak sampai Rp60 juta per tahun. Apalagi mayoritas kelas pekerja dengan upah minimum regional yang hanya Rp3,2 juta per bulan.

Tentu pangsa pasar rumah di atas Rp1 miliar adalah 0,5 persen rumah tangga Indonesia yang menguasai 50,3 persen kekayaan nasional, atau setidaknya 10 persen orang terkaya yang menguasai 77 persen kekayaan nasional. Dan saya tidak perlu Ge-eR masuk dalam kriteria itu. Kalau regulasi diubah oleh Pemerintah dan DPR akan menjangkau seluruh orang kaya di muka bumi.

Jangankan Rp1 miliar, Rp100 miliar hingga Rp1 triliun masih dicari orang. Perbedaan Sorga dan Neraka di atas Peta DKI Jakarta, bahkan Pulau Jawa akan semakin terlihat nyata. Kesenjangan sosial bukan lagi masalah angka, melainkan juga terlihat nyata di ruang-ruang publik yang potensial melahirkan kecemburuan dan gejolak sosial.

Orang-orang yang sulit mengakses surganya para pengembang akan sembunyi ke identitas, agama, ras atau asal daerah yang melahirkan pemimpin-pemimpin populis yang berakar dari prasangka dan kebencian. Gejolak ini yang akan disambut sejumlah elite politik untuk tujuan politik jangka pendeknya.

Data Bank Dunia yang dirilis ekonom senior Faisal Basri itu memang menunjukkan ketimpangan sosial yang luar biasa. Tapi bagi pengembang, 10 persen dari 257 juta penduduk adalah potensi pasar yang luar biasa. Terlebih apabila regulasi diubah sehingga orang-orang kaya Guang Zao, Hongkong, Bahrain, dan Qatar bisa membeli properti di Indonesia.