KETIKA saya tengah menyimak pidato Gubernur Anies Baswedan saat meresmikan Perpustakaan DKI Jakarta dan PDS HB Jassin di kawasan Taman Ismail Marzuki, saya terganggu dengan esai daring The New York Times dengan judul “Meningkatnya Larangan Buku, Pustakawan Diserang”.
Saya tergelitik dengan kata ‘larangan’. Di Amerika ada larangan buku? Saya ngak percaya karena selama ini terus dicekoki bahwa Amerika adalah negara liberal. Segala macam kebebasan ada di Negeri Paman Sam. Apalagi sekarang yang berkuasa adalah Partai Demokrat yang identik dengan platform HAM.
Rupanya itu hanya asumsi saya. Amerika juga memiliki kaum puritan yang sangat berpengaruh dari kalangan Kristen. Mereka juga sangat radikal dalam menerapkan ajaran agamanya.
Lantaran itu isu tentang pornografi dan LGBTQ — sangat sensitif di negara Muslim — juga cukup menyita perhatian publik dan media di sejumlah negara bagian.
The New York Times menulis awalnya guru dan pustakawan di sejumlah negara bagian sangat dilindungi dari semua tuntutan. Namun, belakangan ini mereka terancam karena sejumlah negara bagian mulai menggugat dan merevisi undang-undang tersebut.
Perisakan dan teror kepada pustakawan kini bukan hanya dari orangtua, masyarakat tetapi juga dari para kepala daerah dan politikus. Karena itu belakangan banyak pustakawan yang mengundurkan diri atau yang dipecat.
Pustakawan mundur karena merasa terancam dan juga berkeras dengan prinsip yang kini tidak lagi bebas menentukan buku yang dianggap layak untuk dipajang di rak-rak perpustakaan.
Padahal dalam prinsip pustakawan terutama yang berpaham liberal buku-buku yang terkait LGBTQ dan pornografi, masih dianggap dalam kategori ‘pendidikan seks’.
Dari kasus Amerika ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa isu-usu LGBTQ dan pornografi bukan hanya menjadi isu sensitif di Indonesia atau negara muslim tetapi di negara Amerika yang liberal sekalipun, perdebatan terkait isu yang sama sangat tajam.
Menajamnya protes kaum puritan atas buku-buku seperti “Lawn Boy” dan “Gender Queer” yang dianggap menggambarkan seks vulgar dan pornografi sebagai penanda warga Amerika juga masih kuat menjaga norma-norma agama dan susila. Protes yang tinggi juga sekaligus penanda minat baca masyarakat khususnya anak-anak sangat tinggi.
Bahkan selama pandemi Covid-19, pustakawan sebenarnya dianggap sebagai pahlawan. Karena selama pagebluk itu mereka yang aktif dan memberikan pelayanan penuh mengantarkan buku untuk anak-anak sampai di rumah.
Sebaliknya di Indonesia, justru bila ada buku yang dianggap melanggar SARA atau pornografi, yang diserbu bukan pustakawan atau perpustakaan. Para pemrotes biasanya menyerang atau melakukan sweeping ke toko-toko buku. Sekaligus juga penanda masyarakat dan pelajar kita minat bacanya sangat rendah dan perpustakaan belum menjadi destinasi mengasyikkan bagi mereka.
Ini dibuktikan dengan data United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang menempatkan tingkat literasi Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara yang disini.
Jadi, upaya Pemprov DKI Jakarta merevitalisasi Kompleks TIM sekaligus membangun Perpustakaan Daerah dan PDS HB Jassin yang modern menjadi upaya dan juga nantinya menjadi penanda warga Jakarta dan juga Indonesia memiliki budaya literasi yang tinggi.
Sastrawan Taufiq Ismail pernah mengatakan membaca dan menulis itu seperti saudara kandung.
Perpustakaan Pemprov DKI Jakarta dan PDS HB Jassin juga menjadi stempel sahih dari UNESCO bahwa Jakarta sebagai Kota Sastra Dunia memang sangat layak. [rif]