Scroll untuk baca artikel
Kolom

Surga di Telapak Kaki Pengembang

Redaksi
×

Surga di Telapak Kaki Pengembang

Sebarkan artikel ini

Untuk memuluskan itu semua, maka regulasi yang menghambat kepemilikan orang-orang asing atas kepemilikan properti di Indonesia harus segera dihapuskan. Dengan begitu, orang-orang kaya Hong Kong, Tiongkok, Singapura, Amerika dan sebagainya bisa memiliki rumah di Jakarta.

Sebaliknya, penduduk pendatang yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta akan dicurigai memiliki tuyul atau babi ngepet kalau sampai punya rumah di Jakarta. Paling mungkin mereka akan tinggal di rumah susun atau mengontrak di sisa-sisa permukiman yang luput dari incaran Pengembang.

Jadi, apabila kepemilikan properti boleh dimiliki oleh warga negara asing, sulit dibayangkan betapa mahalnya harga properti di Indonesia nantinya, khususnya di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Apartemen, rumah susun, atau komplek-komplek hunian yang dibangun bukan menjadi tempat tinggal, melainkan sebagai obyek investasi.

Padahal WNI yang benar-benar membutuhkan rumah mencapai 3,2 juta per tahun, sedangkan pemerintah dan pengembang hanya mampu menjanjikan 1 juta rumah. Artinya akan terjadi backlog (selisih kebutuhan dan pasokan) sebesar 2,2 juta rumah.

Karena gairah pengembang dalam pemenuhan tempat tinggal lebih berorientasi daya beli dengan tujuan investasi, bukan kebutuhan nyata, tidak mengherankan bila suatu saat nanti banyak hunian mewah yang kosong melompong karena jarang didatangi pemiliknya.

Mungkin yang akan tinggal di hunian mewah itu pengontrak rumah, pembantu rumah tangga, karyawan senior atau istri muda. Atau bahkan dibiarkan kosong begitu saja, dihuni gendruwo atau apapun nama makhluk halus lainnya. Sebab pemiliknya menganggap seperti halnya menaruh emas batangan di rumah atau di bank.

Tapi ingat, surga akan seketika berubah menjadi neraka yang menyusahkan banyak orang. Sebut saja kasus sub-prime mortage crisis di negeri Paman Sam yang membuat sejumlah pejabat teras Bank Indonesia masuk penjara.