Scroll untuk baca artikel
Kolom

Tak Ada Hari Libur untuk Kenaikan Harga BBM

Redaksi
×

Tak Ada Hari Libur untuk Kenaikan Harga BBM

Sebarkan artikel ini

SUNGGUH tega rezim ini menaikkan harga BBM di tengah kondisi daya beli yang sangat rendah dan masyarakat masih belum bisa bernapas lega karena pandemi Covid-19 belum sepenuhnya pulih. Begitu tega dan zalimnya penaikan harga BBM juga dilakukan pada hari libur yang seharusnya masyarakat rehat dan ceria malah dikasih kabar suram.

Ya, tepat pukul 13.30 WIB Pemerintah resmi menaikkan harga BBM untuk jenis yang selama ini sangat vital bagi masyarakat. Pertalite dari Rp7.600 menjadi Rp10.000 (naik Rp2.400), Solar dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 (naik Rp1.650 ) dan Pertamax dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 (naik Rp2.000).

Dari sejumlah pengamat ekonomi tidak ada alasan yang kuat bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM dengan cara menghapus atau juga mengurangi subsidi hanya karena alasan untuk menyelamatkan APBN.

Sungguh logika yang tidak bisa diterima akal sehat publik. Karena kondisi ekonomi global dan nasional yang tidak baik-baik saja setelah pandemi dan kemudian perang Rusia-Ukraina juga lantaran perubahan iklim, adalah salah kaprah bila subsidi dikurangi apalagi dicabut.

Kenapa selama ini pemerintah selalu menganggap subsidi sebagai beban? Kenapa subsidi paradigmanya tidak dibalik justru sebagai pengungkit ekonomi rakyat lebih produktif? Bukankah subsidi juga mendukung pertumbuhan ekonomi di masyarakat?

Kenapa kebocoran dan salah sasaran selalu menjadi alasan! Bukankah untuk menutup kebocoran dan menekan salah sasaran BBM bersubsidi tugas pemerintah? Kenapa pemerintah tidak becus kerja?

Pertanyaan kita sudahi sampai di sana. Karena nggak ada gunanya juga bertanya kepada pemerintah yang bebal dan selalu berdalih menyelamatkan APBN. Padahal APBN itu tujuannya untuk mensejahterakan rakyat bukan menyengsarakan rakyat.

Dalam pikiran bawah sadar rakyat — dan ini sudah menjadi pendidikan moral sejak sekolah dasar — bahwa hidup itu harus berhemat dan tidak boros. Hemat pangkal kaya, boros divonis bakal miskin.

Namun, paradigma dan postur APBN negara ini tidak mengajarkan itu. Kementerian atau lembaga yang penyerapan anggaran (pemborosannya?) 100 persen dianggap berprestasi. Padahal anggaran itu digunakan untuk pembangunan yang tidak perlu, seminar akal-akalan dan juga kunjungan kerja yang tidak penting dan mendesak.

Sebaliknya, kementerian atau lembaga yang tidak bisa menghabiskan jatah anggarannya untuk satu tahun dianggap tidak berprestasi. Justru, anggaran untuk tahun berikutnya dikorting.

Sejumlah ekonom baik yang oposan atau yang moderat selalu menyarankan kepada pemerintah untuk berhemat misalnya memotong gaji pejabat untuk waktu tertentu sampai ekonomi pulih. Juga pemotongan untuk anggaran kementerian atau lembaga kecuali untuk dana pendidikan dan kesehatan masyarakat.

Saya pun kembali mengulang pendapat sejumlah pakar bahwa tolonglah kepada pemerintah pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dan juga Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara ditunda dulu bila membebani anggaran negara. Kecuali bila didanai investor maka silakan lanjutkan.

Dibandingkan pembangunan fisik yang masih bisa ditunda, sejatinya Pemerintah lebih terpuji dan sangat bermakna perannya bila BBM diturunkan harganya bukan malah dinaikkan.

Pemerintah tentu sudah tahu dan sangat paham dampak ikutan kenaikan BBM. Harga-harga saja sudah naik sejak pandemi Covid-19 apalagi setelah kenaikan harga BBM. Kenaikan BBM juga akan memberatkan ekonomi keluarga sehingga mereka akan semakin kesulitan membeli telur dan susu. Dampaknya angka stunting anak-anak semakin tinggi bukan malah ditekan. Dampaknya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia akan melemah. Puncaknya Indonesia justru tidak akan menikmati bonus demografi sebaliknya malah bisa menjadi berbonus bencana demografi.