Selanjutnya, masalah lingkungan yang disebabkan oleh UKM juga tidak kalah buruknya dibandingkan dengan perusahaan berskala besar. Diungkapkan, perusahaan kecil memiliki dampak yang signifikan bagi lingkungan, pencemaran industrinya setara dengan 60 persen, namun pemilik/ manajer tidak memahami pentingnya perubahan perilaku.
Sedangkan, polusi global dihasilkan oleh UKM mencapai 70%, namun peranannya UKM dalam pembangunan berkelanjutan sering diabaikan. Juga, sejumlah besar UKM sering menimbulkan masalah lingkungan karena banyak yang tidak diatur dan tidak memiliki sistem manajemen lingkungan.
Bahkan, UKM seringkali tidak proaktif dan kadang tidak sadar lingkungan atas dampak kegiatan mereka. Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa usaha kecil belum terlibat dalam masalah lingkungan. Bisnis kecil sering mengabaikan partisipasi untuk terlibat dalam perdebatan tentang perlunya mengubah perilaku lingkungan yang buruk dalam bisnisnya atau tindakan afirmatif.
Penulis utama, Yuliani mengatakan, untuk wilayah Jawa Timur, misalnya, jumlah UKM di provinsi ini sekitar 12 ribu.
“Jumlah limbah cair yang dihasilkan mencapai 70%. Sebagian besar limbah cair itu dibuang langsung ke sungai karena UKM tidak mampu membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL),” tulisnya dalam studi tersebut.
Di Indonesia, kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekonomi manusia sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Sindo tahun 2018, ada 10 masalah lingkungan yang dihadapi oleh Indonesia, diantaranya, sampah, banjir, sungai tercemar, pemanasan global, kesulitan air bersih, kerusakan hutan, kerusakan eksositem laut, pencemasan tanah, dan lainnya.
Manufaktur hijau membutuhkan pabrik untuk merancang produk yang memungkinkan untuk penggunaan kembali, daur ulang dan pemulihan suku cadang dan bahan komponen; menghindari atau mengurangi penggunaan produk berbahaya dalam proses produksi, meminimalkan konsumsi bahan dan energi.
Studi tersebut menjelaskan, UKM dalam distribusi hijau terdiri dari dua kegiatan, yakni penggunaan kemasan hijau dan logistik/transportasi hijau. Penggunaan kemasan hijau terdiri dari: (1) mereduksi ukuran kemasan, (2) menggunakan bahan kemasan “hijau”, (3) bekerja dengan vendor untuk standarisasi kemasan (4) minimalisasi penggunaan bahan dan waktu untuk membongkar (5) mendorong dan mengadopsi metode pengemasan yang dapat dikembalikan, dan (6) mempromosikan program daur ulang dan penggunaan kembali.
Sedangkan logistik/transportasi hijau terdiri dari: (1) pengiriman langsung ke situs penggunam (2) menggunakan kendaraan berbahan bakar alternatif, (3) pendistribusian produk bersama-sama, bukan dalam kelompok yang lebih kecil.