Aneh saja tiba-tiba ada Museum Yahudi di negara Indonesia, sementara seluruh dunia sedang mengecam kekejaman Israel terhadap bangsa Palestina. Banyak media kemudian mengalihkan isu, melalui wawancara dengan beberapa tokoh, bahwa pendirian museum itu untuk tujuan edukasi. Pertanyaannya tentu: mengapa tidak museum Uyghur, museum Palestina, museum Rohingya, untuk edukasi HAM? Mengapa Holocaust? Dimana yang meng-klaim sebagai korban sekarang sedang membalas dendam dengan kekejaman berkali lipat? Apa agenda settingnya? Bisa jadi: normalisasi hubungan RI-Israel, maraknya Yudaisme, dan tergerusnya Islam.
Teori ketiga adalah priming (pengutamaan). Ini adalah proses bagaimana media massa menekankan/menonjolkan satu isu dan mengabaikan lainnya. Penonjolan atau pengabaian ini bisa dengan cara pemberitaan terus menerus, ketiadaan beritanya, posisi/penempatan dalam laman/halaman, ukuran space atau durasi, penyertaan ilustrasi, dll. Penekanan terhadap satu peristiwa sekaligus pengabaian terhadap peristiwa yang lain ini menimbulkan konsekuensi berupa perubahan standar evaluasi yang digunakan khalayak untuk menilai realitas sosial yang dihadapinya (Severin, 2005).
Contoh paling bagus adalah diabaikannya berita-berita kejahatan teroris-separatis yang menganiaya dan membunuhi rakyat sipil, PNS, tentara dan polisi di bumi Papua. Sebagai gantinya –pada waktu yang sama- media terus menerus memberitakan penangkapan ustadz-ustadz dengan tuduhan kosong (tak ada satu pun tuduhan terbukti, apakah radikalisme, terorisme, penyumbang dana ISIS, dll).
Kriminalisasi terhadap tindak dakwah dan sedekah ini terus diberitakan. Efeknya adalah rakyat percaya bahwa banyak ustadz harus diwaspadai, dan banyak pesantren terpapar terorisme. Apakah rakyat akan percaya bahwa teroris-separatis Papua adalah “sodara yang harus dirangkul”? Tinggal menunggu waktu.
Ketiga tantangan pers ini, disadari atau tidak, menghantui kinerja pers Indonesia. Kontrol penguasa ke media, baik melalui ancaman pencabutan iklan atau sebaliknya godaan kucuran dana, atau ancaman politik dan ekonomi lainnya, membelenggu pers kita. Tentu tidak semua media kita demikian.
Masih ada beberapa media arus utama yang tidak mem-bebek arahan penguasa. Di samping itu, pilar kelima, yaitu akun-akun media sosial yang berperan sebagai pers bawah tanah, memberi keseimbangan informasi pada konsumen berita di Indonesia. Selamat Hari Pers Nasional. Semoga merdeka! [Luk]