SEKIRA minggu depan, majelis hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan yang mengadili perkara pembunuhan berencana atas alm Joshua Hutabarat oleh terdakwa Ferdy Sambo (FS), akan menjatuhkan vonis kepada mantan Kadiv Propam Polri tersebut.
Peristiwa pembunuhan atas diri Joshua yang terjadi pada 08 Juli 2022 oleh FS, mantan atasannya sendiri. Kasus pembunuhan itu kini menjadi perkara paling menggegerkan publik di Indonesia, dan putusan vonis pengadilan menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu.
Pembunuhan terhadap brigadir Joshua Hutabarat dinilai warga masyarakat teramat sadis, terlebih pelaku yang memerintahkan pembunuhan itu adalah seseorang yang memimpin lembaga Propam Polri, benteng terakhir dari penegakan hukum di tubuh Kepolisian RI. Maka dari itu banyak orang mengharapkan FS dijatuhi hukuman paling berat, yakni hukuman mati, sesuai dengan Pasal 338 KUHP yang mengatur hukuman atas tindakan dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, ditambah Pasal 340 sebagai unsur tambahan direncanakan terlebih dahulu.
Namun, jaksa pada perkara itu telah menuntut FS dengan hukuman seumur hidup.
Hal yang menarik, beredar “seliweran” berita tentang adanya kasak-kusuk oleh sekelompok orang berpengaruh di instansi Kepolisian, hal mana di antaranya berusaha mempengaruhi jaksa dan majelis hakim agar FS tidak dijatuhi hukuman mati. Tak kurang Menkopolhukam Mahfud MD sendiri yang membuka ihwal adanya seorang Brigjen Polri yang ditengarai berusaha mempengaruhi putusan pengadilan atas kasus FS.[1]
Mengapa sampai begitu rupa terdakwa FS berupaya dilindungi oleh sekelompok orang berpegaruh di Polri? Apakah ada kaitannya dengan jabatan FS sebagai kepala Satgassus Polri ketika pembunuhan terjadi?
Pertaruhan atas wibawa hukum di Indonesia dan independensi majelis hakim sidang perkara pembunuhan Joshua Hutabarat, kembali menemui ujian paling berat.
“Kasus Sambo”, begitu publik banyak menyebut, memang luarbiasa. Tak hanya orang terdekat FS di rumahnya, istri dan beberapa pembantu, serta para ajudan. Kasus pembunuhan itu juga tak urung menyebabkan puluhan perwira menengah dan tinggi Polri berpangkat Jenderal terkena hukuman, dipenjara dan ada yang dipecat dari keanggotaan Polri karena dianggap terlibat. Ini kasus paling besar dan paling memalukan dalam sejarah Kepolisian di Indonesia.