Scroll untuk baca artikel
Blog

Tertawa Dilaporkan Polisi

Redaksi
×

Tertawa Dilaporkan Polisi

Sebarkan artikel ini

EDAN, sinting, gila betul!” gerutu Kang Njohar seperti biasa selalu maunya bawa kejutan, setiap nongol di angkringan Kiai Cungkring.

“Ada apa, Kang?” tanya Mas Sanutoke sembari menyeruput kopi yang selalu tidak lupa ditaburi sejumput garam dan secuil trasi.

“Masa orang tertawa dilaporkan ke Polisi?” tempelak Kang Njohar sambil mengisap rokok dengan gemas.

Ternyata forum angkringan sudah tahu berita itu melalui televisi. “Bagaimana menurut sampean, Mas Sanutoke?” tanya Kiai Cungkring kepada budayawan klas kucingan. Sego kucing yang mengajari tidak serakah, sebab cukup makan dua bungkus..dua kepal nasi dengan lauk secuil ikan..bisa kenyang.

Seraya mat-matan mengisap rokok 234 sang budayawan menghela serangkum napas. Lalu ujarnya, “bukankah seperti sudah disepakati, negara ini negara hukum, dus hukum sudah jadi panglima?”

“Oh iya dong..!” sahut forum serempak.

“Nah itu kalian juga sepakat,” tukas Mas Sanutoke. “Mengapa kaget? Kalau hukum sudah jadi panglima, ya yang berlangsung peristiwa-peristiwa hukum. Dasar watak manusia latah, maka sedikit-sedikit lapor.”

Forum mulai serius kalau sang budayawan mulai berbicara dari sudut pandang kebudayaan, terutama dengan teori yang diugemi: strukturalisme. Lalu tanyanya, “Kiai Cungkring pasti tahu, apa yang terjadi di kepanglimaan era orde lama?”

“Politik sebagai panglima..!” sahut Kiai Cungkring.

“Nah, apa yang terjadi? Ya, yang berlangsung peristiwa-peristiwa politik..! Lalu apa puncak dari kelatahan politik itu? G30S..!”

“Wah ngeri thok,” gumam Kang Njohar. Lalu kira-kira apa yang terjadi dalam kelatahan hukum seperti sekarang?”

“Gini dulu,” tukas Mas Sanutoke, “semustinya tidak boleh ada yang dipanglimakan di NKRI. Semua sektor kehidupan punya peran sama penting. Politik, ekonomi, hukum, dst, sebagai institusi dan nilai sama kuat.”

Forum mulai mafhum.

Lanjut Mas Sanutoke, “tapi ada dasar yang banyak orang alpa, yakni ideologi politik kebudayaan kita, Pancasila. Dalam dasar negara kita itu ada azas kebinekaan, gotongroyong, mufakat.”

Forum mengangguk-angguk. Kemudian tanya Kang Njohar lagi, “terus tadi bagaimana, Mas, apa yang bakal terjadi sebagai puncak dari kelatahan hukum seperti sekarang?”

“Ya semoga ini puncaknya,” cetus Mas Sanutoke kalem sembari ngemil jadah bakar.

Tanya Kiai Cungkring, “yang ini yang mana, Mas?”

Jawab Mas Sanutoke, “ya ini, tertawa saja dilaporkan…”

Forum pun tertawa, hingga Kang Njohar tersedak mendoan.

“Kayak teater saja ya, Mas?” sambut Kiai Cungkring yang saat mahasiswa ikut teater.

“Seperti film Warkop di era otoriter orde baru juga” tambah Kang Njohar, “tertawalah sebelum tertawa dilarang.”

Gerundel Gus Ndalusi yang sedari tadi menyimak sambil melinting klembak, “dagelan thok…”

“Kalau begitu caranya saya yang bakal rugi,” gerutu sang budayawan.

“Rugi bagaimana, Mas?” tanya Kang Njohar.

Sahut Mas Sanutoke, “monolog saya kan bisa bangkrut..!”

Forum pun terpingkal.

Bisik Mas Sanutoke, “monggo, Kiai Cungkring, dicari ayatnya…”