Yanto menilai, persoalan yang selalu terjadi dalam hal pembangunan adalah pertimbangan antara kepentingan ekonomi atau lingkungan.
BARISAN.CO – Jumlah penurunan muka tanah di Indonesia setidaknya tercatat terjadi di 21 provinsi dan 132 kabupaten/kota. Bahkan, untuk beberapa lokasi di Pantai Utara Jawa dan Pantai Sumatera Timur, penurunan tanah telah berdampak pada banjir rob.
Melalui perhitungan kasar kerugian yang diukur hanya dari biaya adaptasi untuk perbaikan jalan, jembatan dan pemukiman di pesisir utara Jawa menunjukkan, potensi kerugian akibat penurunan muka tanah setiap tahunnya mencapai Rp619 triliun. Sedangkan, untuk potensi kerugian bangunan tempat tinggal di kawasan gambut yang surut nilainya, sekitar Rp158 triliun. Angka itu belum termasuk parameter kerugian ekonomi lainnya.
Sementara itu, peneliti Pusat Penelitian Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada pertengahan tahun lalu mengungkapkan, khusus kota Jakarta, penurunan muka tanahnya antara 0,1–8,0 sentimeter per tahun.
Menurut penelitian berjudul “Land subsidence of Jakarta (Indonesia) and its relation with urban development”, yang ditulis oleh Hasanuddin Z. Abidin pada tahun 2011 menemukan, ada hubungan kuat antara penurunan muka tanah dengan kegiatan pembangunan perkotaan di Jakarta.
Kota ini mengalami penurunan muka tanah akibat pembangunan gedung tinggi dan pengambilan air tanah secara intensif untuk air minum masyarakat melalui sumur air tanah.
Banyaknya pengambilan air tanah untuk air minum telah menyebabkan gerusan batuan tanah yang intensif dan selanjutnya memicu penurunan muka tanah yang berkembang luas di wilayah pesisir Jakarta. Pengukuran penurunan muka tanah pun telah dilakukan oleh berbagai ahli dan lembaga.
Bahkan, dari penelitian tersebut disebutkan, selama periode 1982-2010 saja, penurunan muka tanah variasinya spasial dan temporal, dengan laju sekitar 1-15cm/tahun. Sementara, di beberapa lokasi, tingkat penurunan muka tanahnya hingga 20-28cm/tahun.
Sayangnya, isu ini timbul tenggelam. Pada 2021 lalu, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden pernah menyatakan, Jakarta mungkin tenggelam dalam 10 tahun mendatang. Artinya, jika benar, maka Jakarta hanya memiliki waktu sewindu.
Menanggapi persoalan itu, ahli hidrologi, Yanto, Ph.D., menyampaikan bahwa sebenarnya ada hal yang melatarbelakangi timbul tenggelamnya isu tersebut di Jakarta.
“Pertama, informasi mengenai laju penurunan muka tanah itu sebenarnya sudah diketahui oleh level pengambil kebijakan. Banyak orang yang concern, tetapi kemudian menjadi pembicaraan publik itu soal lain,” kata Yanto pada Sabtu (21/1/2023).
Yanto menilai, persoalan yang selalu terjadi dalam hal pembangunan adalah pertimbangan antara kepentingan ekonomi atau lingkungan.
Sejauh ini, menurut Yanto, yang terjadi adalah negara-negara yang berkembang termasuk Indonesia kalau soal lingkungan cenderung diabaikan karena secara ekonomi dianggap sebagai beban biaya.
“Misalnya, Jakarta kalau mau mengurangi laju penurunan tanah itu harus mengurangi laju eksploitasi air tanah, tetapi apa itu sesuatu yang bisa dilakukan? Bisa, tetapi belum tentu mudah dilakukan karena ada banyak faktornya,” jelasnya.
Mungkin pemerintah bisa melarang warga tidak boleh mengambil air tanah, tapi Yanto menilai, itu akan menimbulkan pertanyaan, yakni dari mana sumber airnya.
“Jadinya, untuk sementara boleh ambil air tanah dengan catatan tertentu. Tapi, banyak juga kasus, meski sudah ada aturannya itu law enforcement-nya masih lemah,” ungkapnya.
Dia kemudian mengambil contoh sumur resapan.
“Hampir semua daerah mewajibkan orang untuk membangun sumur resapan, cek aja entah Perda atau Pergub. Tetapi, apakah itu ditegakkan? Kayaknya, ga,” jelasnya.