NAMA sebenarnya bermakna hati terdalam. Tapi orang-orang di kampungnya memanggilnya Ustadz Puad. Seorang guru agama di satu surau di kampung berdekatan dengan pasar. Seorang kyai sederhana, dengan tausiyah polos dan lugu menyimpan dialek ngapak Pantura.
Di surau itu dia khotbah sebulan sekali, dengan bisaroh 100 ribu. Dia juga ngajar mengaji di rumah perseorangan, seminggu dua kali, dengan honor seikhlasnya. Sesekali juga diundang mengaji selamatan atau tahlil dengan ‘amplop’ seikhlasnya pula. Jadi bisa dibayangkan, kehidupan dia bersama keluarga.
Kegiatan lain, hampir setiap hari dia memancing di sungai. Berangkat pagi atau siang hingga sore. Setiap berangkat memancing dia selalu berpamit, “saya berangkat dinas.” Tapi, meski pun hasilnya hanya satu-dua ekor udang, dia terus rutin menjalani ‘dinasnya’.
Pada satu kesempatan, saya melakukan kegiatan yang — sebutlah — bersifat kapitalis tapi nirlaba. Karena teman lama, saya tinggal selama dua minggu di rumahnya. Selama itu pula, Stadz Puad melayani saya. Membuatkan teh, menanak nasi lengkap dengan lauknya, bahkan berbagi rokok. Dia tampak melakukan itu dengan senang hati.
Dalam hati saya berkata, betapa: Ustadz Puad memberi makan kapitalis.
Pernah saya ikut dia memancing. Saya lihat begitu intens sang Ustadz dalam menunggui pancingnya, yang lebih sering tidak bergoyang. Saya lihat kekhusukannya memancing di kali coklat itu, tak ubahnya sembahyang. Atau semacam ritual dengan intensitas ‘hati terdalam’.
Dalam kesempatan itu saya bertanya, kok terus memancing walau hasilnya sangat kecil. Dia pun menjawab, “saya dinas di kantornya Allah, saya harus sabar dan menerima.” Ya, dia memang tidak mendapat ikan, tapi memperoleh sifat sabar dan menerima segala.
Lalu saya bertanya, bagaimana hidupnya sebagai kyai bersama keluarga dengan pendapatan sangat kecil. Dia pun menjawab, “saya menjalankan tugas agama, soal rezki dari Allah…”
Di era pandemi saya pikir dia layak menerima bantuan sosial. Nyatanya tidak. Bahkan ramai diberitakan: wakil walikota di daerahnya menerima bansos. Tatkala saya ingatkan hal itu, dia hanya tertawa lebar.
Bagi saya, Ustadz Puad seorang kaya-raya.***