Scroll untuk baca artikel
Kolom

26 Tahun Sesudah Reformasi 1998

Redaksi
×

26 Tahun Sesudah Reformasi 1998

Sebarkan artikel ini
26 Tahun Sesudah Reformasi 1998
Ilustrasi foto/CNN Indonesia

Quo Vadis reformasi? Sesudah 26 tahun, masihkah ada yang mengawal cita-cita mulia gerakan reformasi. Entahlah. Terasa ada yang tidak pada tempatnya bila menyaksikan compang-campingnya suasana politik, ekonomi dan hukum negeri kita ini sekarang.

Oleh : Iwan Samariansyah

BESARNYA aksi unjuk rasa mahasiswa tatkala DPR-RI hendak memaksakan revisi atas UU Pilkada beberapa hari ini sungguh mengagetkan. Ini mengingatkan penulis saat meliput peristiwa gerakan reformasi lebih dari 26 tahun lalu.

Dan hampir setiap tahun, selalu ada pameran foto untuk mengingat peristiwa besar yang telah mengubah arah sejarah negeri kita ini. Terakhir adalah pameran foto pada 21 Mei 2024 juga pameran seni instalasi 2.000 tengkorak di Jakarta.

Satu pepatah mengatakan bahwa sebuah gambar lebih menggambarkan daripada seribu kata-kata. Benarkah demikian ? Pernah lihat foto pulitzer di vietnam, The Saigon Executioner ? Apa yang Anda pikir saat melihat foto itu? Kengerian dan kekejaman mungkin. Atau barangkali saja kebengisan perang Vietnam. Yang jelas foto hasil jepretan Eddie Adams itu begitu menghentak dan mencekam. Brutal.

Saat ini, bila menyaksikan pameran foto terkait reformasi 1998, gambar-gambarnya tak kalah menghentak, mencekam juga terkesan brutal. Kerusuhan dan penjarahan. Kekerasan di jalan-jalan ibukota Jakarta. Kebakaran yang menghanguskan gedung-gedung bertingkat.

Demonstrasi mahasiswa, semua terekam dengan baik dan seolah baru saja terjadi kemarin. Para jurnalis foto Antara, kantor berita milik negara, telah mengabadikan sejarah otentik negeri ini dengan sangat nyata.

Karya-karya Arif Ariadi, Hadiyanto, Hermanus Prihatna, Jaka Sugiyanta, Maha Eka Swasta, Mosista Pambudi, Oscar Motuloh, Pandu Dewantara, Saptono, Yudhi Soerjoatmodjo adalah di antara karya-karya yang bercerita dengan sendirinya.

Foto-foto mereka sukses merekam gambar peristiwa reformasi 26 tahun silam dan beberapa kali dipamerkan dalam pameran foto mengenang peristiwa reformasi.

Reformasi tahun 1998 bermula dari krisis moneter, lantas menjelma menjadi krisis ekonomi. Nilai rupiah jatuh, dan harga sembilan kebutuhan pokok naik tak terkendali.

Rakyat gelisah. Dan ratusan, kemudian ribuan anak-anak muda terdidik dari kampus-kampus perguruan tinggi bergerak keluar kampus mereka. Berunjuk rasa. Kuliah ditinggalkan dan jalan-jalan raya dipenuhi massa mahasiswa. Tuntutannya satu : reformasi total !

Presiden Soeharto yang sudah berkuasa lebih dari 32 tahun dituntut untuk mundur dari jabatannya dan pemerintah mesti dibersihkan dari penyakit nepotisme, kolusi dan korupsi (NKK). Hari-hari itu, di sepanjang Mei 1998 bukanlah hari yang biasa.

Itu hari ketika gejolak politik meningkat luar biasa tinggi. Bangsa ini sepakat untuk melakukan perubahan menuju kehidupan yang lebih baik, lebih demokratis, lebih terbuka dan menghancurkan hantu yang diciptakan Orde Baru.

Foto berjudul Swara Rakyat karya Yusnirsyah Sirin, misalnya, yang diambil di Jalan Meruya, Kebun Jeruk, Jakarta Barat 4 Mei 1998 menggambarkan suasana itu dengan komplit. Gambar mahasiswa yang duduk di depan barisan polisi.

Sejumlah spanduk berisikan kritik dan pesan pada penguasa terbaca jelas. Tak ada yang menyangka, unjuk rasa damai yang manis itu seminggu berikutnya berubah menjadi tragedi dahsyat.

Pada 12 Mei, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak di kampusnya saat demonstrasi. Mereka adalah Hafidhin Royan (mahasiswa Teknik Sipil), Hendriawan (Ekonomi), Elang Mulia Lesmana (Arsitektur) dan Hery Hartanto (Teknik Mesin). Kejadian itu memicu kemarahan warga di seluruh Republik. Sehari setelah itu, kerusuhan besar melanda Jakarta dan kota-kota lain.

Seolah ada kekuatan gelap yang merayap dan mengendalikan, ribuan orang menjadi begitu beringas dan angkara murka pun merajalela. Mereka menjarah dan membakar pertokoan atau pusat perbelanjaan. Juga mobil dan sepeda motor di jalan raya.