BARISAN.CO – Semakin berkurangnya sumber energi fosil membuat pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) mulai menjadi pembahasan penting. Energi fosil seperti minyak bumi dan batu bara dapat habis. Sementara EBT terus dapat diperbarui dan punya sisi berkelanjutan.
EBT juga telah dianggap sebagai solusi yang menjamin ketahanan dan kemandirian energi. Di samping itu, pemanfaatan EBT pun sudah menjadi komitmen global demi mengurangi emisi gas rumah kaca.
Indonesia sendiri telah berkomitmen mengedepankan EBT dalam bauran energi nasional dibanding energi fosil. Itu tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional yang menyebut bahwa, pada tahun 2025, Indonesia akan mencapai bauran EBT sebesar 23%. Persentase ini merupakan ‘sasaran antara’ yang penting dicapai sebelum menuju ‘sasaran sesungguhnya’, yakni EBT 31% pada tahun 2050.
Sayangnya sejauh ini (2020) realisasi EBT masih sebesar 11,2%. Jangankan untuk bicara 2050, untuk mengerjar target 2025 saja rasanya masih cukup jauh.
Indonesia masih amat bergantung pada energi fosil. Porsi EBT 2020 masih kalah jauh dibanding energi lain di antaranya gas bumi 19,16%, minyak bumi 31,60%, dan batu bara 38,04%.
“Selama ini kita lihat pergerakan dari energi fosil ke energi terbarukan sangat lambat. Tentu saja yang jadi persoalan adalah karena pengembangan EBT membutuhkan waktu panjang, yang oleh karena itu (optimalisasi EBT) harus dimulai dari sejak sekarang. Bahkan mestinya dengan skala yang lebih besar dibanding saat ini.” Kata Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Dr. Surya Darma dalam diskusi virtual yang diselenggarakan atas kerja sama Koalisi Generasi Hijau, Jumat (7/5/2021).
Grafik 1: Bauran Energi (Realisasi 2020)
Grafik 2: Bauran Energi (Target 2025)
Grafik 3: Bauran Energi (Target 2050)
Sumber data: Dewan Energi Nasional.
Bahkan, menurut Dr. Surya Darma menyitir ucapan Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, semestinya target EBT 31% tahun 2050 bisa direalisasikan lebih cepat yakni pada tahun 2045, agar sesuai dengan visi Indonesia emas memperingati 100 tahun kemerdekaan republik.
Namun, Surya Darma menganggap masih perlu usaha keras untuk menuju ke sana. Sekurang-kurangnya, perlu ada upaya untuk mengurangi hambatan masuk ke pasar (market entry barriers) bagi produk-produk berbasis EBT.
Hambatan pasar itu, menurut Surya Darma, di antaranya ialah masih kuatnya kepentingan ekonomi terhadap batu bara sebagai sumber penerimaan utama negara dan sumber energi domestik. Hal itu didukung dengan masih digelontorannya subsidi bagi energi fosil.
Adapun hambatan lain yakni kebijakan tarif listrik serta ongkos EBT yang masih kurang kompetitif. “Aspek-aspek ini memang harus dihilangkan kalau energi terbarukan ingin dikembangkan,” katanya.
Harga Ekonomis vs Harga Jual
Hambatan lain dari pengembangan EBT menurut Surya Darma adalah belum konklusifnya harga ekonomis dari produk berbasis EBT. Untuk menentukan harga ekonomis tidak mudah, karena bergantung pada banyak sekali aspek, di antaranya: jenis teknologi EBT apa yang dipakai, bagaimana infrastruktur penunjangnya, berapa investasinya, bagaimana kebijakan fiskalnya, dan termasuk bagaimana dukungan pemerintah pusat dan pemda dalam pengembangan EBT.
Menurutnya, harga ekonomis penting dirumuskan dengan baik sebelum pemerintah mendorong EBT agar dapat dimanfaatkan besar-besaran di tengah masyarakat.
Jika harga ekonomis sudah ditetapkan, maka pemerintah akan lebih mudah menentukan berapa harga jual sebuah produk energi terbarukan. Harga jual di sini didapatkan dari harga ekonomi dikurangi stimulus dikurangi subsidi (Harga Jual = Harga Ekonomi – Stimulus – Subsidi).
Penjelasannya: “Jika stimulus dan subsidi tidak ada, maka harga jual akan sama dengan harga ekonomi, dan hal ini akan dirasakan berat oleh konsumen dan berdampak pada perekonomian. Apalagi kemampuan konsumen kita masih rendah” Kata Surya Darma.