BARISAN.CO – Pada 13 Juni lalu dunia memperingati Hari Kesadaran Albinisme Internasional. Tahun ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengusung tema “Strength Beyond All Odds “atau “Kekuatan Melampaui Semua Peluang”.
Pengambilan tema tersebut tentu saja ada alasannya, salah satunya adalah untuk menunjukkan kepada dunia bahwa penderita albinisme dapat melawan segala rintangan di semua bidang kehidupan.
Selama ini orang-orang dengan albinisme rentan menghadapi diskriminasi karena warna kulit yang dimiliki. Mereka juga sering mengalami diskriminasi berganda yang beririsan dengan kecacatan dan warna kulit.
Sebagai contoh, kisah anak bernama Dewi Rusmana asal Kampung Ciburuy, Garut, Jawa Barat. Ia nyaris berhenti sekolah akibat diejek oleh teman-temannya sebagai anak bule. Dewi juga mengalami kendala dalam kelas karena matanya yang sering silau dan seperti kelilipan. Bahkan terkadang matanya memerah.
Untuk membaca buku, ia memerlukan jarak yang amat dekat. Begitupun kala membaca tulisan di papan tulis, Dewi harus membaca dengan jarak dekat. Sehingga para guru membiarkan Dewi tidak menulis di kelas, namun menyalin buku temannya di rumah.
Dikutip dari rilis PBB, di beberapa negara, mayoritas orang dengan albinisme meninggal akibat kanker kulit antara usia 30 hingga 40 tahun. Ketika penderita albino memiliki hak akses atas kesehatan, kanker kulit sangat mungkin untuk dicegah, seperti pemeriksaan kesehatan secara rutin, penggunaan tabir surya, kacamata hitam, serta pakaian pelindung dari sinar matahari.
Sayangnya, di beberapa negara, sarana pencegahan tersebut tidak tersedia atau juga tidak dapat diakses oleh mereka. Kondisi tersebut membuat orang-orang dengan albinisme termasuk di antara masyarakat yang tertinggal dan terbelakang. Oleh sebab itu, PBB memasukkan orang-orang dengan albinisme ke dalam sasaran intervensi dari hak asasi manusia dengan cara yang dicita-citakan Sustainable Development Goals (SDGs).
Kurangnya informasi tentang albino membuat banyak orang mengalami stigma. Di Afrika, albino malah dianggap sebagai ilmu sihir. Sehingga orang-orang dengan albinisme mengalami serangan kekerasan dan pembunuhan. Begitu juga di Amerika Utara, Eropa, dan Australia, orang dengan albinisme sering diejek dan diintimidasi.
Beberapa laporan menunjukkan kurangnya informasi membuat anak-anak dengan albinisme di Cina dan beberapa negara Asia diabaikan dan ditolak oleh keluarganya.
Mengenal Jenis Albinisme
Albinisme atau albino merupakan kondisi langka dan tidak menular. Albino menyebabkan kurangnya pigmentasi pada rambut, kulit, serta mata yang membuat seseorang rentan terhadap sinar matahari maupun cahaya terang. Hal ini mengakibatkan hampir seluruh penderita albino mengalami gangguan penglihatan dan rentan terhadap kanker kulit.
Di seluruh dunia, setiap 1 orang dari 20.000 orang memiliki kemungkinan mengalami albino. Sedangkan di Indonesia jumlah penderita albino cukup banyak, mereka banyak ditemui di Ciburay. Angka preferensinya mencapai 1: 178 jiwa, dengan jumlah penduduk sekitar 1.600 jiwa.
Dikutip dari healthline.com, terdapat 8 jenis albinisme, yaitu:
1. OCA1 terjadi akibat cacar genetik dari enzim tirosinase. Enzim tersebut membantu tubuh mengubah bahan penyusun protein berupa asam amino menjadi pigmen.
Ada dua sub-tipe OCA1:
- OCA1A terjadi akibat enzim tidak aktif dan tidak adanya melanin yang diproduksi menyebabkan rambut menjadi putih dan kulit sangat terang.
- OCA1B memiliki sejumlah kecil enzim aktif dan melanin yang diproduksi memungkinkan rambut gelap menjadi pirang, kuning, oranye, atau coklat muda, serta lebih sedikit pigmen di kulit.
2. OCA2 atau dikenal dengan albinisme gen P terjadi akibat defek genetik protein P yang membantu enzim tirosinase berfungsi. Orang dengan OCA2 membuat pigmen melanin memiliki jumlah yang sedikit dan warna rambut pirang sangat terang hingga cokelat. OCA2 paling sering terjadi pada keturunan Afrika dan penduduk asli Amerika.