Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Asupan Jiwa

Redaksi
×

Asupan Jiwa

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Ada beberapa kata kunci dari Charlotte Mason yang begitu melekat dalam benak saya. Yakni children are born persons, education is a life, living books, masterly inactivity dan magnanimity.

Children are born persons, ungkapan yang sedemikian mengena. Bahwa anak terlahir sebagai pribadi. Bahwa ia hadir sebagai individu unik, khas, dan tiada kembaran. Tidak ada duplikat, dan tak tergantikan, walau diupayakan sedemikian rupa.

Karena pribadi, jelas bukan macam kaset kosong yang mesti diisi. Aset dan potensi telah melekat sedari dini. Maka, persis dengan ungkapan Paulo Freire bahwa pendidikan gaya bank tidak cocok buat pengembangan diri.

Education is a life mengisyaratkan bahwa upaya sadar mendidik itu dalam rangka menghidupkan,  menumbuhkan, mengembangkan, dan menggugah. Singkatnya upaya mempercantik yang terlahir cantik, memperindah yang sudah indah. Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan sebagai hamemayu hayuning sarira.

Living books, nah ini, istilah yang paling saya gemari. Selain erat dengan aktivitas saya selama ini untuk menumbuhkan minat baca, juga menjadi rujukan bacaan macam apa yang mesti disuguhkan ke pembaca.

Saya takjub dengan pilihan Charlotte, untuk tidak sembarang menghidangkan bahan bacaan. Hal yang sebelumnya luput dari perhatian saya, yang hanya fokus pada minat baca. Padahal, ternyata pilihan bacaan itulah yang terutama. Ibarat makan, mesti hati-hati, tidak asal mengunyah makanan yang dihidangkan.

Living books merupakan nutrisi bergizi, aman dikonsumsi, buat penjernihan jiwa. Sehingga, kelak masuk deretan hamba yang dipanggil Tuhan, “Hai jiwa yang mutmainah (tenang)….” (Al-Fajr: 27).

Selanjutnya, masterly inactivity, sebuah metode pendampingan peserta didik. Saya menangkap masterly inactivity selaras dengan ungkapan tut wuri handayani, bahwa mendidik itu menuntun.

Ibarat kita menuntun anak kecil, kita berada di belakang, tidak di depannya. Dengan berdiri di belakang, kita memberdayakan, menguatkan, mendukung, supaya potensi anak atau peserta didik berkembang wajar.

Atau dalam istilah yang beda yang juga diperkenalkan Ki Hadjar Dewantara, masterly inactivity ini senada dengan kata ngemong. Ngemong adalah mengamati, merawat, dan menjaga agar anak mampu mengembangkan diri.

Tidak secuil pun gereget untuk memaksa, tapi juga tidak melepas sepenuhnya. Ibarat kita main layang-layang, ada upaya tarik-ulur agar layang-layang membumbung tinggi.

Kemudian magnanimity. Ellen Kristi kerap menjelaskannya sebagai kesanggupan berpikir tinggi, dan hidup membumi. Namun, saya lebih sreg menerjemahkan istilah ini sebagai rahmatan lil alamin. Atau hamemayu hayuning bawono, memperindah dunia, memberadabkan bumi.

Pribadi yang magnanimity merupakan pribadi yang khalifah fil ardh, duta Tuhan di muka bumi. Ia selalu membayangkan bahwa sifat-sifat Tuhan, yang rahman dan rahim, itu menjelma dalam diri dan masyarakat.

Pertanyaan selanjutnya, mungkinkah cita Charlotte Mason yang demikian itu maujud dari bangku sekolah? Sistem persekolahan kita sekarang, apakah benar-benar berorientasi pada pengembangan individualitas, yang menghargai keunikan? Apakah pendidik bisa ngemong peserta didik? Bisa dan mau tut wuri handayani? Juga sanggup ing ngarsa sung tuladha kapan pun dan di mana saja?

Mari kita simpan dulu pertanyaan-pertanyaan yang bakal berderet panjang sekira diteruskan. Saya hanya pengin menyederhanakan mimpi, ya, paling tidak kita pantang bosan untuk menyajikan asupan bergizi buat jiwa anak.

Kita tidak usah larut dan terus-menerus menggerutu mutu pendidikan yang ada. Biaya mahal, minat baca rendah, dan sebagainya. Sebab toh kita tidak bisa mengubah. Maka, paling aman, ya, kita mengupayakan jiwa-jiwa anak terasupi nutrisi yang berkualitas. Karena, dari jiwa yang bertumbuh segarlah, sang diri aktual.