BARISAN.CO – Tata, seorang pelajar SMA, tidak mengelak kalau dia pernah membeli buku bajakan. Ia sama seperti pelajar pada umumnya: uang sakunya tipis, kebutuhan sekolahnya banyak.
Maka ketika dihadapkan pada urusan buku, faktor harga menjadi kunci utama pelajar seperti Tata memilah dan membeli buku kebutuhannya.
Harga buku orisinal yang relatif mahal memaksa Tata harus menabung dan agak bersabar sampai uangnya cukup. Beberapa kali ia membeli buku orisinal. Namun Tata tak selalu bisa menunggu. Sering kali, kebutuhan buku baginya amat mendesak dan oleh karenanya buku orisinal jarang menjadi pilihan.
Sementara Dinda, mahasiswi Universitas Indraprasta, tak jauh berbeda. Ia terkadang diharuskan membeli buku yang harganya selangit. Sayang, uang sakunya akan berkurang cukup banyak jika harus selalu membeli buku orisinal.
Dinda tahu pembajakan—baik dalam bentuk buku fisik maupun digital—dapat merugikan pihak yang terlibat dalam proses penerbitan buku orisinal. Tetapi, Dinda berpendapat, saat dihadapkan pada buku-buku yang harganya terjangkau dan murah, orang cenderung jarang berpikir dua kali untuk membelinya.
Tata dan Dinda hanyalah pucuk gunung es. Fenomena pembajakan buku di Indonesia merupakan satu dari sekian masalah hak cipta di Indonesia yang perlu ditanggapi dengan serius.
Dengan mudahnya akses digital saat ini, orang dapat membuka situs tertentu dan mendapatkan apa yang ia mau. Kemudahan ini juga berlaku terhadap akses buku yang tersedia secara daring. Dari sini titik mula pembajakan buku bermula.
Pembajakan jelas dilakukan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Biasanya, buku bajakan dijual di marketplace dengan harga yang murah, namun kualitas kertasnya cenderung mudah robek seperti kertas koran, kertas berwarna kuning, dan buku yang difotokopi untuk dijual lagi.
Bahkan ada laman gratis yang berisi berbagai jenis buku dan tersedia dalam bentuk pdf tanpa harus mengeluarkan uang sepeserpun.
Penulis buku antologi cerpen Pencuri Mimpi dan antologi Mata Hati Cinta, Kartika Demia, mengungkapkan keresahannya terhadap pembajakan buku yang semakin merajalela. Menurutnya, pembajakan tak berbeda dengan plagiarisme. Keduanya jahat dan merugikan.
Pembajakan buku terutama berakibat pada royalti yang diterima oleh penulis. “Pembayaran royalti diberikan kepada penulis sekian persen dari jumlah eksemplar buku yang terjual. Jika banyak orang memilih membaca buku ilegal, jelas hal ini sangat berpengaruh. Dengan begitu, penjualan buku resmi akan menurun bersamaan dengan royalti penulis. Efeknya sangat merugikan penulis dan penerbit,” ungkap Kartika.
Sebagai penulis cerita fiksi, peminat dari bukunya mayoritas adalah remaja. Harga bukunya di pasaran berkisar antara 60 ribu sampai 90 ribu rupiah. Remaja yang mayoritas berstatus pelajar dan mahasiswa tentu kesulitan membeli buku dengan harga yang lumayan tinggi itu.
Tetapi, hal ini tidak dapat dijadikan alasan pembajakan dapat dilakukan. Kartika menjelaskan, bukan hanya remaja yang ingin membeli buku dengan harga murah. Dari penulis dan penerbit sendiri ingin menjual buku dengan harga yang terjangkau. Tetapi perlu diingat ada royalti yang harus dibayarkan serta biaya produksi dan marketing sehingga buku dapat diterima oleh konsumen, hal ini berimbas dengan tumbuhnya buku ilegal dengan harga yang murah.
“Kenapa buku bajakan harganya murah? Karena tidak perlu membayar royalti, tidak perlu membayar pajak, tidak perlu membayar hasil kerja keras editor, penerbit, dan semua pihak yang berkontribusi hingga lahirlah sebuah buku,” kata Kartika.