BARISAN.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Probolinggo Puput Tantriana dan suaminya, Hasan Aminuddin (DPR RI), menjadi tersangka dugaan suap dalam kasus jual beli jabatan untuk posisi kepala desa.
“Suap diduga terkait dengan penunjukan pejabat kepala desa di Kabupaten Probolinggo,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, dalam keterangannya kepada wartawan.
Kasus ini berakar dari akan adanya 252 jabatan kepala desa dari 24 kecamatan di Kabupaten Probolinggo yang kosong mulai 9 September nanti. Kekosongan itu nantinya diisi oleh aparat sipil negara (ASN) di lingkungan pemerintah Kabupaten Probolinggo.
Namun, ada persyaratan ganjil bahwa usulan nama calon kepala desa harus mendapat persetujuan dari Hasan Aminuddin. Hasan dalam hal ini menjadi representasi Bupati Puput.
Maka agar seseorang bisa disapa ‘Pak Kades’ di wilayah Probolinggo, Hasan dan Puput memasang tarif sebesar Rp20 juta untuk masing-masing nama calon kades. Tarif itu masih ditambah upeti penyewaan tanah kas desa dengan tarif Rp5 juta/hektar.
“[Sewaktu OTT] terkumpul sejumlah Rp240 juta,” ungkap Alexander Marwata.
Kini Hasan dan Puput mendekam di penjara. Hasan ditahan di rutan KPK di kaveling C Jalan Rasuna Said, Jaksel. Puput mendekam di rutan KPK di Gedung Merah Putih.
Selain mereka, sudah ada pula 3 tersangka lain yang ditahan: Camat Krejengan Doddy Kurniawan, penerima suap; Camat Paiton Muhammad Ridwan, penerima suap; Kepala Desa Karangren Sumarto, pemberi uang haram—ada total 22 orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Jabatan kepala desa memang sering dianggap strategis sehingga banyak orang memperjuangkannya habis-habisan. Di sisi lain, berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2015-2020 ada sebanyak 676 terdakwa kasus korupsi yang menjabat kepala desa ataupun sekretaris desa.
Sementa itu kerugian negara akibat laku korup perangkat desa, masih menurut ICW, mencapai Rp111 miliar.
“Perbuatan para tersangka yang diduga tidak melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang baik dan bersih dengan meminta imbalan atas jabatan, telah melanggar nilai antikorupsi yang seharusnya ditegakkan oleh pejabat publik,” kata Alexander Marwata.
Para tersangka pemberi suap melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.
Adapun tersangka yang diduga menerima suap melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP. [dmr]