BARISAN.CO – Rezeki tidak pernah salah alamat. Itu adalah kalimat yang disampaikan oleh pengusaha batik asal Pekalongan, Imang Jasmine saat ditanya dampak pandemi dengan pemasukan.
Bertahun-tahun, Imang bergelut di dunia fotografi profesional yang telah membawanya lalu-lalang ke seluruh pelosok negeri. Namun, suatu hari, Imang memutuskan untuk meninggalkan profesinya tersebut untuk membangun kampung halamannya dengan membatik.
Masa depan seseorang memang tidak bisa ditebak. Tak disangka-sangka, meski ia memiliki DNA pembatik dari neneknya, Imang akan bergelut dalam usaha yang menyimpan berjuta kenangan masa kecilnya.
Pekalongan sendiri memang dikenal sebagai kota batik. Bahkan isi lirik lagu Sosial Betawi Yoi dari grup band Slank menegaskan hal yang sama:
kota batik di Pekalongan
bukan Jogja, bukan Solo
Imang menuturkan meski dikenal sebagai kota Batik, para pengusaha batik di Pekalongan kebanyakan berasal dari luar daerah. Hal itulah yang menjadikan alasan kuat bagi Imang untuk menetap di kampung halamannya dan meninggalkan ibukota yang telah memberikannya begitu banyak kenyamanan.
Berbeda dengan kebanyakan pengusaha yang mengaku kesulitan selama masa pandemi saat ini, Imang tetap teguh mempertahankan para pembatiknya. Menurut Imang, jika ia memberhentikan para pembatik itu, mereka bukan hanya kehilangan mata pencahariannya saja melainkan keahliannya juga.
“Kalau diberhentikan, kehilangan keahliannya, siapa yang rugi? Saya sendiri karena harus memulainya lagi dari awal. Menunggu untuk menjadi ahli itu butuh waktu yang lama. Lagi pula, rezeki tidak pernah salah alamat,” kata Imang saat dihubungi oleh Barisanco.
Imang mengisahkan, di tahun 2014, kala ia kembali ke kampung halamannya, Imang mencari orang-orang yang dapat membantunya untuk membuat motif batik di kain berukuran 2,5 meter. Ia begitu memperhatikan proses pengerjaan kain batik tersebut. Dari situlah, Imang menyadari jika alam meminjam tangan para pembatik untuk menggerakkan canting menjadi apapun.
“Para pembatik itu dipilih oleh alam. Mereka mengerjakan pekerjaannya itu dengan penuh keikhlasan,” lanjut Imang.
Imang menyaksikan langsung, para Ibu saat bekerja sebagai pembatik kehilangan waktu kebersamaan dengan anak-anak karena jauhnya jarak tempuh antara tempat tinggal dengan tempat kerja mereka. Hal itu yang menggangu pikiran Imang karena bagaimana pun, waktu kebersamaan amatlah penting dalam tumbuh kembang anak kelak.
“Alhamdulillah, di tahun 2016, saya memiliki kesempatan dan rezeki untuk menyewa rumah di desa Clumprit itu agar anak-anak dapat bertemu dengan Ibunya,” tambah Imang.
Saat anak-anak pulang sekolah, mereka dapat mendatangi tempat kerja dan melihat Ibunya bekerja. Imang pun menyadari satu hal bahwa warisan itu secara tidak langsung warisan membatik diturunkan kepada keturunannya.
“Dengan melihat langsung seperti itu, para Ibu sedang menurunkan warisan budaya membatik kepada anak-anaknya,” lanjut Imang. [rif]