BAHASA adalah wajah budaya yang paling aktual dan mudah dikenali. Setiap entitas budaya cenderung menggunakan bahasanya dalam komunikasi sehari hari.
Selain itu, keberadaan bahasa bagi setiap entitas budaya juga untuk keperluan menerangkan atau menjadi ‘sistem penjelas’ berbagai makna dalam kehidupan sosial, dan hanya dengan bahasa itu berbagai peristiwa mendapatkan konteksnya secara tepat.
Pada praktiknya, tak ada entitas budaya yang steril dari entitas budaya lain. Interaksi antarbudaya adalah kenyataan yang tak terelakkan. Dalam interaksi tersebut selalu ada proses memberi dan menerima.
Dan, yang tak terelakkan pula, di dalam setiap interaksi tersebut ada entitas budaya tampil dominan dan ada pula yang ‘pinggiran’. Dominan dalam pengertian entititas budaya tersebut lebih banyak memberi warna budaya pada berbagai aspek kehidupan dari pada menerima.
Pun dalam interaksi budaya, ada pihak-pihak yang merasa superior dan dipihak lain inferior. Superior dalam arti entitas budaya tersebut percaya diri menampilkan dirinya dan sebagian lain cenderung sebaliknya.
Superior inferior tak selalu terkait soal dengan dominan dan tak dominan sebuah kebudayaan, melainkan lebih soal rasa. Entitas Badui, yang meskipun dari segi kuantitas sangatlah minoritas. Tapi suku badui tak merasa dirinya inferior dibanding entitas budaya lainnya.
Suku Badui tetap tampil percaya diri menampilkan dirinya tanpa merasa terintimidasi budaya lainnya. Namun ada entitas lain yang muncul rasa inferior akibat dari proses interaksi budaya.
Pada konteks ini rubrik Kompas (29/21) tentang sosok Yono Daryono menarik untuk dicermati. Tulisan berjudul “Bahasa Tegal Bukan Lawakan” adalah hasil wawancara Kompas dengan salah satu tokoh budayawan sekaligus Ketua Dewan Kesenian Kota Tegal, Yon Daryono, yang dengan gigih memperjuangkan harkat Bahasa Tegal.
Menurut Yon, citra Bahasa Tegal selama ini dinilai terkesan menjadi ‘rendah’, ‘pinggiran’, lantaran diimejkan sebagai bahasa banyolan yang terkesan dungu. Citra itu yang membuat sebagian orang Tegal malu menggunakan bahasa ibunya.
Karena citra itu, Yon berjuang keras hendak memulihkan harkat Bahasa Tegal menjadi bahasa orang Tegal yang bisa tampil percaya diri di tengah entitas budaya lainya. Di antaranya, Ia membuat karya karya budaya berbasis Bahasa Tegal dan mengusulkan Kongres Budaya Tegal.
Sebenarnya tak ada tinggi rendah atau inferior superior dalam budaya. Setiap entitas punya nilai dan kebudayaannya sendiri yang mandiri dan otonom. Soal imej tinggi rendah adalah buah dari interaksi budaya yang berkelindan dengan media dan citra. Tapi justu di sinilah tantangan setiap entitas budaya.
Ke ‘dalam’ dia harus bertahan, terawat dan solid. Ke ‘luar’ dia harus tampil penuh percaya diri dan penuh kebanggaan. Bukan hanya bahasa, tapi seluruh dimensi yang ada dalam entitas budaya tersebut harus bisa ditampilkan penuh kepercayaan diri dan kebanggaan.
Pada posisi ini, tulisan tentang sosok Yono Daryono berkait dengan bahasa Tegal, mestinya menjadi ‘paper pembuka’ untuk diskusi-diskusi yang lebih segar di kemudian waktu.
Tulisan itu mestinya mendapat apresiasi bagi banyak pihak utamanya para budayawan yang memiliki perhatian dan keprihatinan terhadap budaya Tegal. Yono Daryono, lewat tulisan itu telah bersuara keras seputar imej bahasa Tegal serta nasibnya di masa mendatang dan sudah semestinya mendapatkan sambutan antusias.
Apapun yang dilakukan Yono Daryono untuk mengangkat Bahasa Tegal dengan penuh harkat, adalah kerja kerja kolektif kebudayaan yang harus melibatkan banyak pihak. Positioning Yono Daryono: Bahasa Tegal eksis, orang Tegal percaya diri menggunakan bahasanya ibunya.