ULASAN pada tiga bagian sebelumnya menyimpulkan ekonomi Indonesia belum pulih pada tahun 2021 dan akan sulit pulih pada tahun 2022. Aspek dan indikator yang menjadi argumen antara lain tentang: pertumbuhan ekonomi, PDB riil, ketenagakerjaan, kemiskinan, dan kredit bank umum.
Tulisan bagian ini memperkuat argumennya dengan pencermatan atas kondisi fiskal pemerintah yang memburuk tahun 2020 dan 2021, serta belum terencana membaik signifikan pada tahun 2022.
Dalam kondisi resesi ekonomi suatu negara memang lazim jika pemerintahnya paling diandalkan dalam mitigasi dampak serta proses pemulihan ekonomi. Masyarakat dan dunia usaha sedang dalam kondisi yang sulit dan sangat butuh bantuan. Kebijakan utama dalam peran pemerintah antara lain berupa kebijakan fiskal, yaitu kebijakan dalam pendapatan dan belanja.
Pada umumnya, pemerintah akan meningkatkan nilai belanjanya melampaui kondisi normal. Sering ditambah item-item belanja yang sebelumnya kurang dikenal. Belanja lebih diarahkan membantu kelompok masyarakat atau dunia usaha yang terdampak. Hal tersebut secara teknis analisis ekonomi disebut menjaga agar permintaan agregat perekonomian tidak merosot lebih dalam.
Dalam hal pendapatan, kondisi resesi biasanya membuat pemerintah suatu negara “melonggarkan” target penerimaan pajak. Antara lain dengan membebaskan atau merelaksasi beberapa jenis pajak yang harus dibayar. Dimaksudkan agar daya beli masyarakat masih dapat dijaga, dan kondisi dunia usaha masih cukup operasional.
Akibatnya, defisit anggaran menjadi meningkat pada saat resesi dan sering berlanjut beberapa tahun selama pemulihan ekonomi. Dikenal sebagai kebijakan konter siklikal atas lesunya kondisi ekonomi.
Defisit yang lebar dan berlangsung beberapa tahun berakibat tambahan utang yang besar. Beban pembayaran utang berupa pelunasan pokok dan bunga utang turut meningkat.
Pemerintah Indonesia telah menambah alokasi belanja negara pada tahun 2020 terutama melalui program penanganan Covid-19 dan program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Pada saat yang sama, pendapatan negara menurun drastis. Baik karena konsekuensi perekonomian yang resesi ataupun karena kebijakan relaksasi pajak.
Aturan batas defisit yang ditetapkan oleh undang-undang pun dilonggarkan selama tiga tahun, yaitu tahun 2020 sampai dengan 2022. Dari maksimal 3% atas Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi tak dibatasi.
Realisasi defisit pada tahun 2020 mencapai 6,14% atas PDB. Diprakirakan akan lebih dari 5% pada tahun 2021 yang sedang berjalan ini. Dan masih direncanakan defisit 4,85% dalam APBN 2022.
Akibatnya tambahan utang pemerintah selama tiga tahun berturut-turut (2020-2022) jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Posisi utang pada akhir tahun meningkat pesat. Posisi utang akhir tahun 2020 mencapai Rp6.080 triliun, melonjak dari posisi akhir tahun 2019 yang sebesar Rp4.787 triliun. Diprakirakan meningkat menjadi sekitar Rp7.000 triliun dan Rp8.000 triliun pada akhir tahun 2021 dan 2022.
Masih lebarnya defisit dan kebutuhan berutang yang tinggi mencerminkan pandangan pemerintah bahwa perekonomian belum pulih hingga tahun 2022. Pemerintah masih menerapkan kebijakan fiskal yang sangat ekspansif, dan berasumsi menjadi dorongan besar bagi pertumbuhan ekonomi.
Bagaimanapun harus diperhatikan bahwa kebijakan fiskal yang cukup ekspansif telah diterapkan sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi. Ketika terjadi resesi akibat pandemi, maka tambahan ekspansi berdampak pada beban utang yang meningkat sangat pesat.
Beban utang dimaksud berupa pelunasan pokok utang dan pembayaran bunga utang. Sebelum pandemi saja, rasionya atas pendapatan negara telah mencapai 42,74% pada tahun 2019. Telah melampaui batas rekomendasi dari International Monetary Fund (IMF) dan International Debt Relief (IDR).