Niscala artinya kemenangan dalam bahasa Yunani. Menurut bahasa Sansekerta memiliki arti kokoh.
KEJENIUSAN hanya sedikit bersangkut-paut dengan jalan menuju penemuan, itu adalah kata-kata Einstein. Sepertinya Nasya paham benar akan maksud perkataan tersebut. Biasanya akan muncul suatu loncatan dalam kesadaran. Banyak orang pintar di negeri ini, sekolah-sekolah gratis, bantuan pembiayaan pendidikan yang terkecupi bagi mereka orang miskin yang tidak mampu memasukkan anaknya ke sekolah.
Nasya semakin heran dalam hening malam yang hanya ditemani secangkir teh manis buatan ibunya di halaman rumah. Ia semakin yakin dengan dunia pendidikan yang semakin menjanjikan. Orang-orang kaya rela memasukkan anaknya ke sekolah favorit, walaupun itu harus mengeluarkan banyak rupiah. Berharap kelak anaknya mampu mewarisi kekayaan keluarganya dan mampu memimpin perusahaan keluarga.
Aku telah merasakan kemerdekaan, Nasya berkata pada dirinya, sambil menikmati teh manisnya. Ia terus berkelana dalam pikiran sehingga ia lupa akan harapan dan mimpinya. Hanya bisa membayangkan dan tersenyum sendiri tanpa ada seseorang yang memberikan inspirasi baginya. Angin malam tak peduli, rembulanpun hanya ikut tersenyum melihatnya.
Ya…aku telah merasakan kemerdekaan bagi mereka penikmat dunia. Aku bangga menjadi anak bangsa yang dibesarkan dengan berlimpah sumber daya alam. Meski orang asing yang bisa memanfaatkannya, bukannya tidak mampu untuk mengelola akan tetapi merasa kasihan saja. Sebab bangsaku adalah pancaran kilauan cahaya surga.
Aku adalah anak zaman, bisik kecilnya pada batu-batu yang ia pegang. Apa kau tahu wahai bebatuan, engkau ini memiliki nilai manfaat sehingga terkadang engkau diperebutkan. Apa engkau tidak ingin protes atas apa yang menimpa dirimu. Sehingga engkau terluka dan dibuang ke negeri tetangga.
“Nasya ayo masuk, nih makan malam sudah siap.”
“Iya..Bu.” Nasya menghampiri ibunya dan siap untuk makan bersama. Keluarga yang hanya dihuni sepasang ibu dan anak. Rasa syukur masih menjadi miliknya, rumah tempat tinggalnya milik sendiri, jika dibandingkan dengan para pendatang yang ingin hidup di kota.
“Bu, kenapa ibu tidak masukan Nasya ke sekolah. Nasya ingin sekolah Bu, meski umur Nasya sudah enam belas tahun. Kan bisa ikut kejar paket Bu,” pintanya.
“Dari dulu kamu selalu ingin minta sekolah. Bukannya ibu tidak mampu mensekolahkanmu. Tapi ibu ingin mendidikmu sendiri.” Sekolah itu hanya bagian dari tempat mencari ilmu. Pengetahuan yang sesungguhnya ketika kamu mampu menaklukan keinginanmu. Salah satunya menaklukan niat untuk sekolah.” Ibunya betutur kata yang tidak menginginkan anaknya menjadi korban sekolah.
“Memang apa jeleknya sekolah?” sahut Nasya.
“Sekolah itu tidak jelek. Sekolah itu bagus,”
“Terus kenapa ibu tidak mensekolahkan Nasya?”
“Mengapa engkau ulangi lagi pertanyaanmu. Suatu saat nanti kamu akan sekolah, sekolah yang sesungguhnya” Percayalah pada ibu, taklukan keinginan yang ada pada dirimu dan terimalah yang menjadi kebutuhanmu.
Malam kian larut, Nasya dan ibunya melanjutkan aktifitas malam dengan mimpi-mimpi yang indah. Nasya semakin berhamburan dalam memori otaknya, mengeja kalimat disetiap perkataan ibunya.
Pikiranku semakin lelah, untuk menerjemahkan kata-kata bijak. Aku hanya bisa menerjemahkan bangsaku. Terutama ketika mereka memakai seragam yang begitu rapi dengan tas yang indah. Namun aku tidak boleh berkecil hati, meski aku tidak sekolah tapi aku bisa belajar kepada teman-temanku.
“Koran pagi pak. Ada berita baru, pemimpin kota ini tersandung masalah korupsi.”
“Koran-koran”, hirup pikuk lalu lalang mobil dan kendaraan di lampu merah jalananan. Nasya menikmati hidup jalanan, namun beribu-ribu pengetahuan dan informasi ada pada genggam tangannya. Ia seorang remaja putri penjual Koran.