Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Alam Terkembang, Penjaga Bumi Sejati

Redaksi
×

Alam Terkembang, Penjaga Bumi Sejati

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Suara jangkrik masih bersahutan bertanding-tanding dengan aneka suara binatang malam. Hening dan sunyi. Angin tidak terlalu keras berhembus. Bagus untuk mengusir nyamuk. Tapi aneh, sedari tadi rasanya tidak ada nyamuk malam ini. Padahal rumah di tengah kampung suku terasing ini begitu kelam, lantainya pun dari tanah. Hanya ada lampu teplok tradisional tuk menerangi dengan sedikit cahaya. Temaram, tapi menambah hikmat.

Kami melewati malam dengan bercerita ihwal niatku berpetualang di perkampungan suku ngetop ini. Anak kota nekat, mencoba mengisi liburan dengan “ngabolang” di pelosok. Jauh dari keriuhan ibukota. Aku memang ingin mencari ketenangan, kesunyian, dan merekam semua gerak kehidupan komunitas asli. Tak tersentuh modernisasi apalagi keangkuhan teknologi digital. Sungguh bosan dengan keriuhan dan kemunafikan kota.

Tuan rumah Bapak Kepala adat, sungguh ramah, begitupun bu Nyai. Mempersilakan untuk tinggal di rumahnya saja agar terjamin dan aman.

Malam pun larut. Tiba-tiba hujan turun lebat. Tak ada nyamuk, dingin menusuk, aku tambah meringkuk, khusyuk dalam lelap.

Selepas subuh, sayup kokok ayam bersahutan. Tidak lagi hujan, embun turun berarak. Kusegerakan membuka pintu dan keluar rumah di keremangan fajar. Bapak Ketua dan bu Nyai sudah sibuk-sibuk di luar. Menyapu dan persiapan ke ladang. Ya, orang dusun di sini tidak bersawah tapi menanam padi dan tumbuhan lain di ladang milik satu kaum bersama.

Kujejakkan kaki telanjang di tanah lembab bekas hujan. Tidak becek tapi dingin, rumput menghijau. Berjalan di atas rumput hijau luar rumah, benakku disergap bau tanah basah khas sehabis hujan. Luar biasa nikmat harumnya. Tidak pernah lagi kutemukan bau khas tanah perdesaan seperti ini di kota besar yang kumuh.

Sambil berjalan menjejakkan kaki dalam-dalam di rumput, kutegur sapa bapak dan ibu Nyai, lalu lalang sambil tersenyum pepsodent kepada iringan orang kampung dusun terasing. Mereka bergegas hendak ke ladang, laki dan perempuan. Busana hitam dan putih mengenakan tudung caping lebar, khas suku. Amat menarik. Dipinggang masing-masing membawa seonggok buntelan kain berisi makanan dan aneka keperluan selama di ladang.

Berjalan agak jauh, keperhatikan keliling. Matahari mulai sepenggalan naik. Cahayanya kuning keputihan diiringi kicau burung bersahutan. Tak bisa kugambarkan betapa indahnya pagi. Sayang, di sini dilarang keras membawa kamera atau HP. Barang-barang modern haram masuk kampung. Rumah saja dibangun tanpa menggunakan paku sebijipun. Hanya diikat dengan tali bambu atau akar, dibebat kuat. Desa ini ingin menjaga kemurnian alam tanpa merusak apapun yang dimiliki sebagai warisan kekayaan lokal.

Mendadak, pagi indah itu terusik ketika tiba-tiba aku teringat banyak sekali alam indah di pelosok negeri yang rusak dijamah kerakusan. Terakhir kasus Wadas malah bak tentara kolonial dengan jumawa mengoyak moyak ketenangan desa. Tragis dan sedih.

Alam perdesaan dengan pohon, tanah, rumput, umbi-umbian, padi, sungai deras nan bening dan makhluk ciptaan Tuhan lain sesungguhnya sebuah sistem kehidupan teramat unik dan indah. Rangkaian ratna mutu manikam persembahan Sang Khalik kepada manusia pengemban amanah-Nya sebagai khalifah di muka bumi.

Sistem ekologi tak terperikan canggihnya di luar batas kemampuan nalar manusia. Matahari si pemberi energi. Sinar kehidupan pagi memberikan kehidupan bagi bunga, pohon dan daun. Rumput putri malu pun tegak menyapa mentari. Kelopak bunga bermekaran terkena sinar kehidupan. Terus mekar untuk bertumbuh dan berkecambah bagi putik dan daun.