Scroll untuk baca artikel
Analisis Awalil RizkyTerkini

Kondisi BUMN Membebani Keuangan Pemerintah

Redaksi
×

Kondisi BUMN Membebani Keuangan Pemerintah

Sebarkan artikel ini

KONDISI keuangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki hubungan timbal balik yang erat dengan kondisi keuangan pemerintah. Berdampak terhadap penerimaan dan pengeluaran Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Kondisinya juga mempengaruhi nilai aset pemerintah pusat.

BUMN merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Selama belasan tahun terakhir, alokasi tiap tahunnya tercatat sebagai Penyertaan Modal Negara (PMN), yang kadang disebut sebagai Penyertaan Modal Pemerintah (PMP).

Nilai PMN kepada BUMN berfluktuasi tiap tahunnya. Selama era tahun 2005-2004 dialokasikan sebesar Rp19,04 triliun. Meningkat menjadi Rp27,9 triliun pada era tahun 2010-2014. Meningkat lagi secara sangat signifikan pada era tahun 2015-2019, yang mencapai Rp142,77 triliun.

Peningkatan pesat pada era 2015-2019 beralasan penugasan BUMN dalam berbagai proyek strategis nasional (PSN). Terutama PSN yang terkait dengan bidang infrastruktur. PMN pada tahun 2015 mencapai Rp64,53 triliun dan pada tahun 2016 sebesar Rp50,46 triliun.

Pada tahun 2020 sampai dengan 2022, nilai PMN kembali meningkat. Realisasi pada tahun 2020 sebesar Rp31,29 triliun, dan pada tahun 2021 sebesar Rp71,19 triliun. Direncanakan sebesar Rp38,48 triliun dalam APBN 2022. Kali ini beralasan penugasan dalam rangka mitigasi pandemi covid dan program pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Beberapa BUMN memperoleh PMN yang sangat besar selama era 2015-2022. Diantaranya adalah: PT Hutama Karya (Rp76,15 triliun), PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Rp33,07 triliun), PT Perusahaan Listrik Negara (Rp43,6 triliun), PT Sarana Multi Infrastruktur (Rp26,6 triliun), PT Kereta Api Indonesia (Rp14,5 triliun), dan PT Waskita Karya (Rp14,4 triliun).

Arus PMN kepada BUMN berdampak pada meningkatnya aset pemerintah pusat yang tercatat pada neraca. Nilai PMN pada BUMN tercatat mencapai Rp2.343 triliun pada akhir tahun 2020. Meningkat pesat dibanding pada akhir tahun 2014 yang sebesar Rp892 triliun.

Namun perlu diketahui bahwa sebagian besar peningkatan nilai karena adanya revaluasi aset BUMN. Bukan sepenuhnya karena peningkatan arus PMN dan kenaikan nilai karena hasil pengelolaannya.

Dari sisi penerimaan, BUMN memberi setoran laba yang merupakan sebagian dari labanya kepada pemerintah dan tercatat dalam APBN. Nilai setoran laba selama era tahun 2005-2019 sebesar Rp490,08 triliun. Nilainya berfluktuasi tiap tahun, seperti: Rp50,6 triliun (2019), Rp44,6 triliun (2020), dan Rp30 triliun (2021).

Perlu diketahui bahwa tidak cukup kuat korelasi antara BUMN yang memberi setoran laba dengan yang memperoleh PMN. Selama beberapa tahun terakhir, yang memberi setoran laba terbanyak antara lain adalah: PT Telkom, Bank BRI, Bank Mandiri, PT Pertamina, dan Bank BNI. Mereka bukan yang memperoleh PMN dalam nilai besar selama satu belasan tahun terakhir.

Diantara BUMN yang telah memperoleh PMN cukup besar dan telah menyetor bagian labanya adalah PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Namun nilainya masih belum seimbang. PT SMI telah menerima PMN sebesar Rp26,6 triliun selama era tahun 2015-2019. Sedangkan setoran labanya hanya sekitar Rp2 triliun.

Perlu diketahui, ada empat BUMN yang tidak berada di bawah pembinaan kementerian BUMN, melainkan Kementerian Keuangan. Tiga diantaranya dikatakan berfungsi sebagai fiscal tool Pemerintah. Yaitu: PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI), PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), dan PT. Sarana Multigriya Finansial (SMF). Ketiganya memperoleh alokasi PMN yang meningkat signifikan pada era 2015-2022 dibanding era sebelumnya.