BULAN Ramadhan disebut pula dengan bulan Al-Qur’an (syahrul Qur’an). Hal ini disebabkan karena di bulan ramadhan diturunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup dan kehidupan umat Islam. Hanya saja terjadi banyak anomali, paradoks dan distorsi di kalangan umat Islam dalam memaknai dan merealisasikannya. Hal ini berakibat umat belum sepenuhnya beroleh dampak positif dari nilai dan spirit ramadhan.
Sesungguhnya bulan ramadhan mengundung banyak ajaran dan nilai-nilai positif, yang bisa diklasterkan ke dalam simpul transendensi, humanisasi, liberasi dan modernitas. Keempat simpul tersebut dapat dikonstruksikan antara lain; pertama, ramadhan merupakan instrumen meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183.
Kedua, melatih perilaku ihsan. Yakni: sikap ikhlas dalam menyembah Allah SWT. Yang ditamsilkan dalam frasa “sembahlah Allah SWT seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim). Dalam bahasa lain, perilaku ihsan bisa disinonimkan dengan sikap jujur (honesty) atau dapat dipercaya (trusted).
Ketiga, bulan ramadhan instrumen pemanusiaan manusia (humanisasi) agar tidak terjebak dan terprosok pada dehumanisasi. Jika hal tersebut berhasil dilakukan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, bukan saja Allah SWT akan mengampuni dari segala dosa-dosanya yang terdahulu. (HR. Bukhari dan Muslim). Di akhir ramadhan atau saat Idul Fitri, manusia tersebut dikembalikan ke fitrah (kesucian). Bagaikan bayi baru lahir ke dunia, tanpa dosa.
Keempat, puasa di bulan ramadhan mengandung nilai, spirit dan etos modernitas. Hal ini ditandai dengan larangan sementara waktu dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari untuk makan, minum, berhubungan suami istri. Spirit modernitasnya terletak pada pesan moral untuk menunda kesenangan sesaat untuk menggapai kebahagiaan yang abadi yang disimbolisasikan dengan menyegerakan berbuka puasa (tajil dan iftar).
Kelima, setarikan nafas dengan itu, bulan ramadhan melatih disiplin melalui perintah memulai berpuasa sejak terbit matahari dan berbuka puasa saat bedug magrib. Tidak boleh di luar waktu tersebut. Atau ditunda di luar waktu, kecuali dalam keadaan darurat atau sakit. Ini anjuran untuk disiplin waktu dan menghargai proses karena proses akan menentukan hasil.
Keenam, bulan ramadhan dengan perintah wajib bagi setiap individu muslim dalam menunaikan zakat mengandung instrumen liberasi atau hurriyyah (pembebasan) bagi manusia lainnya. Sebab, “pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” (QS. Adz-Dzariyat: 19).
Ketujuh, bulan ramadhan dapat menjadi instrumen pembentukan sifat dan perilaku positif, kreatif dan inovatif. Hal ini bukan hanya aktivitas yang berkaitan dimensi transendental, seperti membaca Al-Qur’an, ahalat malam, zikir dan sebagainya. Juga terkait dengan aktivitas non transendental, seperti sektor ekonomi kreatif dan produktif. Termasuk dalam penggunaan teknologi digital atau gadget untuk berbagai kebutuhan umat manusia.
Perilaku Anomali
Problematikanya seperti biasa dan lumrah terjadi pada diri sebagian umat adalah terjadinya anomali. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata anomali dapat diartikan dengan sebuah ketidaknormalan, keganjilan, keanehan, atau penyimpangan dari keadaan biasa (normal) yang berbeda dari kondisi umum suatu lingkungan. Anomali juga sering disebut sebagai suatu kejadian yang tidak bisa diperkirakan sehingga sesuatu yang terjadi akan berubah-ubah dari kejadian biasanya. (https://id.wikipedia.org).