Lukisan Pantai Selatan
: Lara Kidul
Duduk berdiamlah, aku ingin melukismu
Biarkan gerai rambutmu, angin berlalu itu
Kau tahu, airmata tak akan pernah surut
Api di pendiangan hati, tatapmu melarut
Dari garis wajahmu, kemanakah kenangan
Telah sauh, jiwa gemuruh di pantai selatan
Sungguhkah engkau tubuh maya, sejarah
yang dibalikkan dari genap wali sembilan
Biarlah kalam empu, aku telah menangkap
Sebab ini hati, tak akan kemana melayap
Sejak badai angin, memporanda mahligai
Bahwa ini syair, angin yang telah melandai
Guratan rautmu, warna tak pernah pudar
Dari tautan merindu, antara hati terpendar
Entah sampai kapan kita mafumi, rajah
yang tergores pada tiang-tiang kerajaan
Ah, bahasa jiwa, di penghujung jelajah
Setelah riwayat ini usai, apimu menjarah
Lalu kata angin, di sini semua menabur
Siapa membakar sepi, di tungku biadab
Atau penarung lisus, pada setiap adab
Sendiri ternina, ini jiwa tak pernah baur
Selesai sudah lukisan purba riwayatmu,
kita akan bertemu di larung pertemuan…
Semarang, 15 Januari 2014
Selamat Malam Kota
Ini malam menyalak sepi larat
Moncong di tepi bulan segi empat
Setelah pembakaran kota terjalang
Kamu jiwa memberontak di gigir sloki
Tak ada kepala di tubuh petualang
Tak ada jiwa dalam bluess kaum usiran
Mampuslah keindahan puisi..!
Meringkuklah kamu di penjara jahanam
Lolong anjing melengkapkan jaga
Tubuh berjalan tapi pikiran tidur
Zombi kamu ditikam birahi hitam
Mengubur kenangan masa kanak-kanak
Dan Ibu yang tidak pernah dikenalnya
Pergilah Bapak usah lagi berpaling
Silakan hidup kemewahan dunia..!
Menggigillah kamu dalam aorta hampa
Sekali lagi, ini malam terkutuk
Barangkali penghabisan pedih terperih
Terbeton kamu di daerahmu terasing
Sendiri total tak ada manusia di ranah tuan
Ucapkan selamat tinggal lalu muntahkan
Hidup mesti kau akui cuma berisi kekalahan
Sorakkanlah kemenangan keji itu..!
Berkuburlah kamu di sabana tanpa tepi
Semarang, 11 Januari 2014, jam 00.
Orang-orang yang Menunggu di Tikungan
: Peringatan untuk para bintang iklan
Mereka menunggu di tikungan, untuk
mendapatkan bagian hadiah dari satu lomba
Sambil menunggu mereka menjadi bintang,
bintang lima watt atau bintang iklan kapitalis
Berharap sang jago melihat cahaya suram mereka
Hanya itu memang yang bisa mereka lakukan,
karena keahlian mereka hanya: menjilat!
Mereka lupa tentang satu hal: etika…
Bagaimana mungkin lampu lima watt
disandingkan dengan lampu seribu watt
Bahkan di tv mereka obral produk nomer satu
Bagaimana mungkin mereka jadi orang nomer satu,
atau menjadi menteri hukum atau kebudayaan
Lihatlah, mereka cengegas-cengenges di tikungan,
berharap jago mereka menjadi pemenang lomba
Mereka tidak percaya pemilik etika: rakyat…
Astaga, ternyata banyak orang seperti mereka,
bergabung di gerombolan menunggu di tikungan
Padahal mereka golongan mantan jagoan
Dengan harapan sama, padahal tangan mereka
berlumur darah dan lumpur penderitaan rakyat
Kenapa para Kiai tidak memperingatkan, bahwa
tangan mereka terlalu kotor untuk mengukir sejarah
Tak sadarkah: arus politik rakyat tak terlawankan
Sudahlah, sudah, cahaya kalian hampir pudar
Usia pun menjelang renta bahkan terancam struk
Jangan bermimpi jadi pemimpin, karena kalian
tidak memiliki syarat seorang pemimpin, ialah:
menomerduakan diri, dan menomersatukan rakyat
Dan arus sejarah politik ini tak terelakkan,
sejarah baru yang diguratkan sendiri oleh rakyat!
Kita lihat saja: siapa sang calon pemimpin sejati…
Semarang, 20, Mei 2014