BARISAN.CO – Untuk menjaga penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Ajaran 2022/2023, khususnya untuk sekolah-sekolah negeri baik SMA/Aliyah/sederajat, SMP/Tsanawiyah/sederajat, dan SD/Ibtidaiyah/sederajat agar sungguh-sungguh merefleksikan nilai objektif, transparan, akuntabel, dan non-diskriminatif, Plt.
Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jakarta Raya (wilayah kerjanya meliputi Provinsi DKI Jakarta, Kota Bogor, Kota Bekasi, Kota Depok, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat), Dedy Irsan, menyerukan kepada seluruh pihak agar bersama-sama menjaga integritas pelaksanaan PPDB.
“Tidak akan ada harga dan artinya Permendikbud, Pergub, Peraturan Kepala Dinas mengenai juklak/juknis PPDB jika para pihak mulai dari penyelenggara (Dinas serta satuan Pendidikan/sekolah terkait) pimpinan lembaga baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif baik vertikal maupun daerah, aparat penegak hukum, penggerak dan penggiat organisasi masyarakat, serta media massa, tidak memiliki komitmen untuk bersama-sama menjaga dan mengawal PPDB agar terbebas dari intervensi, intimidasi, atau upaya-upaya lain yang dapat merusak kemurnian PPDB itu sendiri,” ujarnya, Rabu (25/5/2022).
Dedy mengingatkan, seruan ini pada dasarnya selalu digaungkan Ombudsman Republik Indonesia setiap tahun pada pelaksanaan PPDB. Sebab, dari hasil pengawasan dan temuan Ombudsman Republik Indonesia, selain permasalahan pada sistem PPDB yang antara lain mencakup aplikasi, server, jaringan dan lain sebagainya.
Ataupun kelemahan pada desain regulasi, dukungan anggaran, peningkatan kompetensi SDM yang minim, mekanisme layanan dan tindak lanjut laporan/pengaduan yang lemah, serta persiapan yang kurang memadai dan seterusnya. Permasalahan yang kerap menjadi hantu yang merusak PPDB adalah adanya intervensi, intimidasi, pungli, suap/gratifikasi kepada para penyelenggara PPDB.
Daya Tampung Diabaikan
Salah satu yang sering diabaikan atas penyelenggaraan PPDB, khususnya pada PPDB tingkat SMA dan SMK adalah pelanggaran terhadap ketentuan daya tampung atau kapasitas (kuota) siswa yang diterima oleh sekolah.
“Untuk diingat bersama, daya tampung ditetapkan oleh Dinas Pendidikan setempat, dalam hal ini misalnya PPDB SMA dan SMK ditetapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat, untuk memastikan bahwa sekolah dapat memenuhi SPM (standar pelayanan minimal) jumlah siswa dalam satu rombongan belajar (rombel) atau kelas yang dimiliki oleh sekolah sebagaimana diatur oleh Kementerian Pendidikan,” kata Dedy.
Seraya menyampaikan bahwa norma yang sama juga dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan di tiap Kabupaten maupun Kota. Faktanya, lanjut Dedy, ketentuan daya tampung ini seperti diabaikan oleh beberapa SMA dan SMK milik pemerintah di Provinsi DKI Jakarta dan di Bogor, Depok dan Bekasi.
Ironisnya, hal tersebut tidak tampak dari penyelenggaraan PPDB yang dislogankan beserta dengan aturan dan tahapan-tahapan yang harus diikuti secara ketat oleh para calon siswa atau orangtua/wali murid. Ada sekolah yang kemudian memaksakan lebih dari 40 siswa per kelas. Atau bahkan sangat mungkin sekolah akhirnya menggunakan ruang laboratorium atau ruang perpustakaan sebagai kelas untuk menampung siswa-siswa tersebut.
“Kita tidak akan mendapati fakta ini dari hasil (pengumuman) akhir PPDB. Kita baru bisa menemukannya jika membandingkan antara regulasi daya tampung dengan jumlah siswa/peserta didik pada saat awal tahun ajaran baru, yang bisa jadi beberapa hari atau pekan setelah proses PPDB. Oleh karenanya, wajar banyak orangtua/wali murid yang menyampaikan kepada Ombudsman Republik Indonesia mengenai relevansi pelaksanaan PPDB jika masih banyak yang diterima melalui jalur di luar PPDB,” ungkapnya lagi.