Sang presiden baru saja melakukan reshuffle kabinet, sebuah jurus usang menyalahkan kinerja menteri yang notabene sebagai pembantunya.
BELUM lama ini presiden melakukan pergantian menteri dan pengangkatan wakil menteri di tengah negara yang terus mengalami kemerosotan ekonomi dan politik. Sayangnya, pemilihan menteri baru itu tidak serta-merta menunjukan sosok yang penuh integritas dan dapat membangun kepercayaan publik.
Mengingkari janjinya sendiri, presiden masih mengakomodir representasi partai politik dan mengesankan kebiasaan bagi-bagi kursi jabatan dan kompromi politik sebagai siasat menghadapi pemilu dan pilpres 2024.
Presiden tidak hanya menelanjangi diri sendiri, ia juga membongkar aib dari kerumunan gerombolan politik yang berlindung di balik belenggu konstitusi dan tirani kekuasaan. Presiden bahkan tidak mampu melihat realitas di depan mata dan sekelilingnya, mana yang bisa bekerja dan mana yang ngga becus meski sekedar menyandang gelar pejabat.
Sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, presideh seharusnya mampu membedakan mana orang jujur dan baik serta mana orang jahat yang bersemayam dalam istana dan institusi negara lainnya.
Mirisnya lagi ketika reshuffle kabinet, menteri barunya selain tidak kompeten dan kapabel, juga dirundung kontoversi dan polemik. Ada menteri yang masih tersandera kasus pidana korupsi, ada juga yang perwakilan partai politik yang elektabilitasnya 0%.
Lucunya lagi banyak menteri lama yang masih bertengger di singgasana kabinet, padahal kinerjanya. buruk, disinyalir terseret kasus korupsi dan banyak melakukan distorsi kebijakan yang ikut memperburuk kondisi negara dan bangsa.
Terlebih ada seorang menteri yang kekuasaanya melebihi presiden, menjadi menteri segala urusan dan menentukan semua persoalan rakyat. Menteri senior itu masih kuat bertahan dan tak ada siapapun yang dapat mengusiknya.
Pada akhirnya publik menilai, antara hubungan presiden dengan menterinya, sangat sumir siapa sesungguhnya yang jadi presiden dan siapa yang jadi pembantunya.
Ada seloroh sebagian besar masyarakat, bahwasanya ada menteri yang rasa presiden, ada presiden yang rasa pembantu. Bahkan secara ekstrim ada yang menyebut presiden sebagai boneka atau setidaknya jongos dari kekuatan yang lebih besar, semisal oligarki atau para pemilik modal besar.
Dengan tidak adanya korelasi yang signifikan antara pergantian menteri dengan perbaikan kondisi negara dan bangsa, seperti pemulihan ekonomi dan politik, perbaikan kualitas demokrasi, disipin dan keteladanan para pemimpin, tanggap darurat terhadap kesengsaraan dan penderitaan hidup rakyat akibat pandemi serta krisis multi efek yang ditimbulkannya.
Membuat rakyat semakin yakin pada satu konklusi terhadap apa yang menyebabkan dan siapa yang paling bertanggungjawab terhadap keterpurukan rakyat, negara dan bangsa selama hampir dua periode ini.
Bukan hanya kalangan oposisi, sebagian besar dari dalam lingkar kekuasaan dan irisannya. Belakangan meski tak bersuara nyaring juga sudah mulai gelisah, menjaga jarak dan saling menyalahkan.
Ada keengganan untuk melakukan kritik oto kritik dari para menteri dan pejabat lainnya kepada pimpinannya dalam hal ini sang presiden. Entah karena takut tersingkir dan terlempat dari zona nyaman atau takut tak bisa ikut juga menikmati kue kekuasaan yang menggiurkan.
Orang disekelilingnya dan para pendukungnya ramai-ramai berjamaah berlaku asal bapak senang (abs) dan menjadi penjilat kekuasaan. Ikut secara sadar dan sukarela membenarkan kesalahan atau penyimpangan yang dilakukan presiden.
Kalau sudah seorang presiden yang menjadi sumber dan akar masalah pemerintahan, negara dan bangsa. Maka semua masalah yang sudah bertumpuk-tumpuk dan menggunung, akan menjadi krisis yang terstruktur, sistematik dan masif.